REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak muda kini dikenal dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Ambisi untuk lekas sukses menggapai apa yang dicita-citakan juga tinggi. Orientasi terhadap hal yang universal dan dunia internasional juga mereka miliki.
"Tapi juga mereka nggak betah berproses. Berproses kayak haram gitu. Jadi maunya cepat, instan. Berikutnya mereka senang yang instan," ujar psikolog, Tika Bisono, saat Republika hubungi melalui sambungan telepon, Kamis (17/5) malam.
Kondisi tersebut amat berbeda dengan remaja atau pemuda ketika Tika remaja sekira tahun 1970-1980-an dan era kemerdekaan. Ia hidup di era Orde Baru. Masa di mana Pancasila dan hal-hal lain terkait kenegaraan begitu dekat dengan pemuda kala itu.
"Pancasila dan kawan-kawan itu mengisi hari-hari kami. Seperti upacara bendera tiap hari senin, Sumpah Pemuda pasti ada acaranya. Kalau 17-an dulu malah rutin naik Gunung Gede karena kita ada upacara bendera di sana," kata dia.
Pelantun lagu "Pagi" itu melanjutkan, semua itu berubah ketika Indonesia masuk ke era reformasi. Saat memasuki masa reformasi, Tika merasa hal-hal yang berkaitan dengan kenegaraan, kebanggaan terhadap negara, penghormatan terhadap bendera, dan pelaku kenegaraan mulai kendor.
Tika menyayangkan fenomena itu. Fenomena yang ia nilai terjadi karena ulah pemuda Indoneisa pascareformasi. "Tinggal di Indonesia, betul. Tapi nggak menghormati Indonesia. Cuek banget," jelasnya.
Menurutnya, kesadaran moril, mental, moral, etika, dan sikap-sikap yang membumi Indonesia di anak muda saat ini minim. Ia mengambil contoh situasi saat ini, yakni mendekati Hari Kebangkitan Nasional.
Ia mengatakan, yang ribut-ribut soal itu masih lebih banyak orang-orang yang lebih senior. Tika menilai, tidak banyak ide kegiatan terkait hari besar nasional itu yang dilontarkan anak-anak muda saat ini.
Setelah dicek, kata dia, ternyata memang pelajaran yang terkait dengan hal tersebut minim di sekolah. Sejarah, merupakan barang mahal bagi pemuda-pemuda saat ini. Situasi itu membuat mereka kurang menyadari cikal bakal negara yang mereka tinggali saat ini.
"Anak-anak itu nggak tahu asal-usul, cikal-bakal mereka darimana sih? Nggak tahu asal-usul tempat tinggal mereka tuh dulu apa sih? Nggak tahu," jelasnya.
Selain karena pelajaran yang berbeda, penyebab lain menurut Tika adalah peran orang tua yang semakin berkurang di rumah. Sejak tahun 1980-an banyak orang tua yang memilih untuk bekerja kantoran.
Hal itu memicu konflik peran domestik dan publik para orang tua kantoran itu. Tetapi, ia menuturkan, hal tersebut seharusnya tidak dijadikan alasan hubungan antara orang tua dan anak menjadi kendor.
"Bagaimana sih cara kreatif kita bisa ciptakan kualitas yang baik walau kuantitas tidak sebanyak orang tua (zaman) dulu," ujarnya.
Cara-cara kreatif itulah yang menurutnya juga harus dilakukan oleh pemerintah, khususnya yang mengurus soal pendidikan. Mereka harus mencari cara agar sejarah atau pendidikan sejarah tidak lagi menjadi barang mewah bagi pemuda.
Tika melihat nilai kebangsaan yang muncul cukup kencang di anak-anak muda hanya pada saat-saat tertentu saja. Pada kegiatan perlombaan olahraga seperti badminton, sepak bola, dan event-event internasional saja.
Ia juga mengatakan, nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan lain sebagainya seperti tidak menjadi hal yang dirasakan dari hati oleh pemuda saat ini. Ia melihat semua itu hanya sekadar omongan yang bersifat sebagai barang saja.
"Kita dari jaman dulu itu kalau ada acara itu kan dipakein baju daerah nggak karuan, tapi bukan cuma pake baju, kita juga kencang belajar PKN," tuturnya.
Menurut dia, hal itulah yang harus dikembalikan. Kecintaan pemuda pada bangsa sendiri ia sebut dirusak oleh sistem pendidikan. Sistem yang memang tidak memberikan banyak pengetahuan kepada pemuda terkait negaranya sendiri.