REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM— Dewan militer yang berkuasa di Sudan memutuskan untuk bertemu dengan pengunjuk rasa dalam rangka pembicaraan transisi politik. Setelah pembicaraan, unjuk rasa dihentikan sementara di jalan utama di luar ibu kota Khartoum.
Pada Ahad (19/5) Kepala Deputi Dewan Militer, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, mengatakan angkatan bersenjata sudah menangkap orang yang berada di balik serangan terhadap pengunjuk rasa pekan lalu. Lima orang meninggal dunia dalam peristiwa itu termasuk anggota angkatan bersenjata.
Kedua belah pihak sudah menggelar pertemuan beberapa kali sejak militer menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pekan lalu. Mengakhiri kediktaktorannya selama 30 tahun setelah pengunjuk rasa melakukan aksi mereka selama empat bulan duduk di depan Kementerian Pertahanan.
Kedua belah pihak masih belum sepakat dengan peran militer. Pengunjuk rasa ingin pemerintahan baru di bawah pemerintahan rakyat sipil. Sementara militer ingin tetap mempertahankan kekuasaan mereka dengan alasan keamanan.
Pada pekan lalu jenderal-jenderal Sudan dan pengunjuk rasa menyatakan telah meraih kemajuan dalam negosiasi mereka. Mereka sepakat tentang rentang waktu periode transisi dari kekuasaan militer ke kekuasaan rakyat sipil.
Selama satu bulan lebih kedua belah pihak berselisih tentang pemindah kekuasaan ke rakyat sipil. Kini mereka sudah sepakat masa transisi akan dilakukan selama tiga tahun.
Pada Rabu (15/5) Letnan Jendral Yasser al-Atta, anggota Dewan Militer dan Madani Abbas, seorang negosiator dari pengunjuk rasa mengatakan mereka juga sepakat membentuk badan transisi legislatif. Badan itu akan diisi 300 anggota yang berasal dari rakyat sipil.
Al-Atta mengatakan isu selanjutnya pembentukan dewan kedaulatan. Dia berharap meraih kesepakatan dalam 24 jam kedepan. Pada awal bulan Mei lalu Alinasi aktivis dan kelompok oposisi The Declaration of Freedom and Change Forces (DFCF) mengirimkan dokumen rancangan konstitusi kepada Dewan Transisi Militer. Dokumen itu berisi visi mereka tentang masa transisi.