REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai langkah pemerintah membatasi sebagian fitur platform media sosial dan perpesanan instan bisa dimengerti meski sebenarnya melanggar sebagian hak publik. Pembatasan tersebut berlangsung sejak Rabu (22/5).
"Secara politis apa yang dilakukan pemerintah bisa dimengerti, walaupun sebenarnya terlambat," kata Tulus melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis.
Namun, Tulus menganggap langkah pemerintah tersebut terlalu berlebihan. Ia mengibaratkannya seperti ingin menangkap seekor tikus dengan cara membakar lumbung padi.
Secara hukum, menurut Tulus, langkah pemerintah tersebut bisa dikatakan melanggar hak-hak konsumen dan hak-hak publik yang sebenarnya dijamin undang-undang.
"Langkah pembatasan sebagian fitur platform media sosial dan perpesanan instan itu melanggar hak-hak konsumen dan hak-hak publik yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahkan Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Rabu (22/5), Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan pemerintah sementara membatasi secara bertahap sebagian akses platform media sosial dan perpesanan instan dalam upaya mengekang penyebaran hoaks mengenai aksi unjuk rasa terkait pengumuman hasil Pemilihan Umum 2019.
"Tidak semua dibatasi dan bersifat sementara serta bertahap," ujarnya.