REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, pemberian dispensasi dalam perkawinan anak dapat menjadi permasalahan dalam pelindungan anak di Indonesia. Untuk itu, KPAI ingin agar ada pengetatan pemberian dispensasi dalam perkawinan anak.
"Ruang pemberian dispensasi dalam Undang-Undang Perkawinan menjadi tantangan dalam upaya pencegahan perkawinan anak," ungkap Susanto dalam rapat koordinasi yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Jumat,
Menurut Susanto, rencana penerbitan peraturan Mahkamah Agung (MA) menjadi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencegah perkawinan anak. Rancangan peraturan MA tersebut akan menjadi panduan para hakim dalam memberikan dispensasi agar lebih terukur dan ketat.
"KPAI merekomendasikan usia perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun hingga 21 tahun, namun apakah aturan 19 tahun atau 21 tahun itu masih akan efektif bila masih ada ruang dispensasi bagi perkawinan anak?" ujarnya.
Selain upaya melalui aturan, Susanto menilai upaya pencegahan perkawinan anak juga memerlukan kebijakan yang lintas sektor yang mendukung. Misalnya, aturan tentang wajib belajar.
"Kebijakan wajib belajar 12 tahun baru di beberapa daerah dan bersifat lokal dan belum menjadi norma nasional. Bila wajib belajar 12 tahun bisa menjadi norma nasional, hal itu bisa menjadi pencegah perkawinan anak," jelasnya.
Menurut dia, dampak perkawinan anak sudah banyak dielaborasi dan disampaikan oleh banyak melalui berbagai riset sosial maupun riset keluarga. Seluruhnya berujung pada kesimpulan bahwa perkawinan anak berdampak buruk bagi pelakunya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perkawinan Anak menggelar rapat koordinasi untuk menetapkan langkah pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perkawinan anak. Rapat koordinasi tersebut diikuti oleh perwakilan kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, KPAI, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Rapat koordinasi juga melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Kapal Perempuan, Aliansi Remaja Indonesia, Kalyana Mitra, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia serta perwakilan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef), dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA).