REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill mengumumkan pengunduran dirinya pada Ahad (26/5). Ia yang menjabat sebagai kepala pemerintahan negara itu selama tujuh tahun mundur setelah beberapa pekan terakhir terjadi pembelotan dari partai berkuasa.
Dalam sebuah pernyataan, O’Neill menyampaikan ia menyerahkan kepemimpinan negara Pasifik itu kepada Sir Julius Chan. Sebelumnya, ia telah menolak seruan mengudurkan diri. Namun, saat ini, ia juga mengatakan dibutuhkan langkah-langkah terbaru dalam parlemen Papua Nugini.
Penentang O’Neill mengatakan mereka telah mengumpulkan dukungan yang cukup dari parlemen Papua Nugini untuk menggulingkan pria berusia 54 tahun itu dari jabatannya. Beberapa hal yang membuat ia dituntut mengundurkan diri adalah diantaranya masalah kesepakatan gas dengan perusahaan Prancis, Total.
Pembelot dari partai yang berkuasa setidaknya adalah sembilan anggota parlemen. Penentang O’Neil disebut perlu menggalang 62 anggota parlemen dari 111 kursi untuk berpihak pada mereka.
Ketidakstabilan politik juga telah terjadi di Papua Nugini. Selama ini negara itu dikenal kaya akan sumber daya alam, namun masyarakat setempat dilanda kemiskinan. Di bawah kepemimpinan O’Neill, masalah ini tak kunjung teratasi.
Sementara itu, politikus oposisi mengatakan akan mendorong penyelidikan di Australia dan Swis mengenai pinjama sebesar 1,2 miliar dolar AS yang diatur oleh kelompok UBS. Hal itu akan dilakukan jika adalah perubahan dalam pemerintahan.
Dalam sebuah laporan dari Komisi Ombudsman Papua Nugini, terdapat kesepakatan pada 2014 yang memungkinkan negara itu meminjam dari UBS untuk membeli 10 persen saham di perusahaan energi yang terdaftar di Bursa Efek Australia. Penelusuran lebih lanjut tentang penggunaan uang saat ini sedang dilakukan oleh perusahaan Total. Papua Nugini diperkirakan mengalami kerugian hingga 1 miliar kina setelah dipaksa menjual saham ketika harga jatuh pada 2017.