REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas penyidikan Direktur Utama nonaktif PLN Sofyan Basir ke jaksa penuntut umum. Artinya, dalam waktu dekat Sofyan akan diadili terkait dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
"KPK telah menyelesaikan penyidikan kasus dugaan suap terkait kontrak kerjasama PLTU Riau-I dengan tersangka SFB," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/6).
Jaksa penuntut KPK memiliki waktu 14 hari untuk menyusun surat dakwaan Sofyan. Rencananya, sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Penyidik telah menyerahkan tersangka dan barang bukti pada Penuntut Umum, sehingga proses hukum berikutnya berada pada lingkup kewenangan JPU KPK," kata Febri.
Dalam merampungkan berkas penyidikan Sofyan, penyidik sedikitnya telah memeriksa 74 saksi. Mereka yang diperiksa terdiri dari sejumlah unsur di antaranya, menteri ESDM, pejabat di PLN dan anak perusahaannya, pihak PT Samantaka Batubara, anggota DPR, mantan pengruus Partai Golkar dan pihak swasta lain.
Kuasa hukum Sofyan Basir, Soesilo Ariwibowo, menyambut baik pelimpahan berkas kliennya. "Pemeriksaannya cepat belum 20 hari sudah terselesaikan saya terima kasih juga kepada KPK untuk mempercepat juga proses ini," kata Soesilo di Gedung KPK Jakarta.
Saat ditanyakan ihwal mengajukan justice collabolator (JC), Soesilo mengaku belum memikirkannya. "Mengenai JC masih dipikirkan sambil berjalan. Masih kami pikir-pikir, tentu itu haknya pak Sofyan ya. Kami juga lagi berdiskusi yang mana kami juga belum tahu," tuturnya.
Dugaan keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Namun, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa. Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 Mega Watt kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.