REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama menuturkan, pihaknya sedang melaksanakan tax reform atau reformasi perpajakan. Tujuannya, untuk mencapai target pemerintah dalam tax ratio, yakni kisaran 11,8-12,4 persen pada 2020.
Hestu menuturkan, reformasi dilakukan dengan pilar utama sistem informasi, perbaikan proses bisnis dan pemanfaatan data base. Hal ini akan membantu meningkatkan kapasitas DJP dalam mendorong kepatuhan para wajib pajak (WP). "Baik melalui perbaikan pelayanan, peningkatan pengawasan maupun penegakan hukum," tuturnya ketika dihubungi Republika, Rabu (12/6).
Saat ini, Hestu menambahkan, pemerintah juga sudah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Data-data keuangan baik domestik maupun internasional sudah dan akan didapatkan terus melalui skema Automatic Exchange of Information (AEoI). Hal ini akan dimanfaatkan sebagai instrumen penting untuk meningkatkan kepatuhan para WP dalam membayar pajak.
Hestu menjelaskan, pemerintah juga akan menjangkau ekonomi digital, termasuk e-commerce, dalam kegiatan penarikan pajak. Baik itu yang dalam negeri maupun luar negeri atau lintas negara. "Ini mengingat potensinya yang semakin membesar," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menuturkan, target pemerintah terbilang sulit dicapai. Terkecuali, ada langkah luar biasa dalam menarik pajak pada WP.
Berbagai langkah yang dimaksud adalah pemanfaatan data tax amnesty dan AEOI serta melakukan pemeriksaan pajak pada WP tidak patuh maupun tidak ikut tax amnesty. Selain itu, peningkatan pengawasan, termasuk PPN, serta Memanfaatkan koordinasi dan sinergi dengan institusi lain.
Yustinus mengatakan, dengan proyeksi pertumbuhan PDB 5,2 persen, PDB tahun ini diperkirakan mencapai Rp 15.512,68 triliun. "Maka dengan proyeksi penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp 1.407,35 triliun, dapat diperkirakan bahwa tax ratio (dalam arti sempit) adalah 9,07 persen," ujarnya.
Yustinus menjelaskan, arti sempit dimaksud adalah pajak yang diadministrasikan oleh DJP. Sementara itu, dalam artian luas adalah termasuk pabean dan cukai serta penerimaan sumber daya alam.
Yustinus menyebutkan, tax ratio dalam artian luas dapat mencapai 11,6 persen pada tahun ini. Angka tersebut dengan asumsi bea cukai, SDA migas, dan pertambangan umum tercapai, sehingga diperoleh penerimaan perpajakan Rp 1.800,95 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan, angka 12,4 persen merupakan target moderat untuk kondisi ekonomi Indonesia saat ini. “Untuk skenario paling optimistis, target yang ditetapkan 13,7 persen,” ujarnya dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/6).
Sementara itu, menurut data Kemenkeu, pemerintah menargetkan target tax ratio pada 2020 11,8 persen hingga 12,4 persen. Sementara itu, pada 2021, targetnya antara 11,9 persen sampai 12,6 persen dan kisaran 12,1 persen sampai 13 persen pada 2022. Pada 2023, sekitar 12,3 persen-13,3 persen dan pada 2024 berada pada rentang 12,5 persen-13,7 persen.