REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bukhari Yusuf
Dalam Alquran surah al-A'raf [7] ayat 97-99, Allah memberikan peringatan sekaligus ancaman bagi manusia, yakni dengan rasa tak aman dari makar dan ujian Allah.
Sebab, ujian dan makar Allah bisa datang dalam situasi yang tak terduga-duga, baik di waktu istirahat maupun semangat, saat maksiat maupun taat, serta di waktu siang maupun malam.
Merasa aman dari makar Allah bisa menjadi awal datangnya bencana dan malapetaka. Ketika seseorang sudah merasa dirinya berada dalam zona aman, kerap kali hal itu menjadi sebab utama penurunan tekad dan daya juang, penurunan kuantitas dan kualitas ibadah, penurunan semangat berdakwah, serta penurunan sensitivitas untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang agama.
Rasul SAW bersabda, "Dua nikmat yang di dalamnya banyak manusia tertipu: sehat dan waktu luang." (HR al-Tirmidzi).
Karena itu, selayaknya seorang Mukmin memiliki sifat hati-hati dan waspada dalam setiap kondisi dan keadaan. Bahkan, ketika sedang berada dalam kesalihan dan ketaatan sekalipun. Inilah yang membedakan dirinya dengan yang lain.
Al-Hasan al-Bashri berkata, "Seorang mukmin melaksanakan ketaatan dalam kondisi takut dan cemas, sementara seorang fajir melakukan maksiat dalam kondisi merasa aman."
Seorang mukmin-meskipun telah melakukan berbagai amal salih dan ketaatan-tetap tidak merasa puas dengan amalnya, tidak merasa aman, serta tidak merasa layak untuk serta-merta mendapatkan surga dengan berbagai kenikmatannya.
Sebab, tidak ada jaminan amalnya diterima, tidak ada jaminan selamat dari godaan setan, tidak ada jaminan ia terlepas dari dosa dan salah, tidak ada jaminan husnul khatimah, serta tidak ada jaminan pula ia selamat dari siksa. Yang diharapkan hanya rahmat, ampunan, dan pertolongan dari Allah disertai beramal sekuat tenaga.
Itulah buah dan hasil dari sebuah proses tarbiyah dan pembinaan yang panjang dan kontinu. Tarbiyah mendidik seorang Muslim untuk senantiasa berada di antara rasa khauf (takut) dan raja` (harap).
Di satu sisi ia merasa takut kepada makar dan siksa Allah sehingga menjauhi maksiat dan dosa sekecil apa pun adanya, namun di sisi lain ia juga sangat berharap kepada rahmat dan karunia-Nya yang luas sehingga tidak pernah putus asa untuk bertobat dan meminta ampunan.
Inilah keseimbangan yang akan menjadi kunci kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
Hal itu ditandai dengan sikap terus memperbaiki diri disertai kesiapan untuk menerima nasihat, masukan, dan saran baik dari orang lain. Adapun jika terus berkubang dalam kealpaan tanpa mau memperbaiki diri, atau senantiasa sibuk melakukan kritik dan kecaman sehingga lupa pada aib dan cacat sendiri berarti sedang menikmati zona aman yang melenakan.
"Maka, apakah penduduk negeri itu merasa aman dari kedatangan siksa Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau, apakah penduduk negeri itu merasa aman dari datangnya siksaan Kami kepada mereka di waktu dhuha ketika mereka sedang bermain-main? Maka, Apakah mereka merasa aman dari makar Allah? Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS al-A'raf [7]: 97-99).