REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Kirgistan sejak abad ke delapan. Meski rezim silih berganti menduduki Kirgistan, Islam tetap ada, meski tidak banyak terekspos ke permukaan.
Dalam artikelnya “A Brief History of Kyrgyzstan: Behind the Upheavals' di laman Time”, Ishaan Tharoor menulis, berada di persimpangan penting Jalur Sutera, Kirgistan menjadi negeri dengan aneka budaya Cina, Rusia, Uzbekistan, dan beberapa etnis lain. Pada 751 M Dinasti Abbasiyah di Banghdad mengirimkan pasukan untuk menghadang pasukan Cina yang dikirim Dinasti Tang.
Peristiwa itu menjadi momentum penguatan kultur Islam dibandingkan kultur Cina di Kirgistan. Meski, etnis Kirghiz sendiri dipercaya merupakan keturunan bangsa Turki. Mayoritas warganya memang Muslim, tapi tata cara beribadah sedikit banyak bercampur dengan kebudayaan dari era sebelumnya.
Tak heran, mereka yang masih menjalankan syariat Islam terpencar-pencar di berbagai wilayah, termasuk di Lembah Ferghana yang belakangan disoroti sebagai sarang gerakan Islam militan. Ekonomi Kirgistan pun morat-marit sejak merdeka, akibatnya angka pengangguran terus memuncak.
Eric McGlinchey dari George Mason University dalam Islamic Revival and State Failure in Kyrgyzstan menuturkan, setelah tujuh dekade lepas dari kungkungan Uni Soviet pada 1991, Kirgistan merdeka menentukan sendiri identitasnya sebagai sebuah negara. Islam memang menjadi indentitas yang melekat di masyarakat, tapi bukan negara.
McGlinchey melihat masyarakat Islam di Kirgistan berada dalam tiga kelompok, yakni tradisional, konservatif, dan reformis. Mantan presiden Kurmanbek Bakiev memuji Muslim tradisional yang membawa wajah Islam toleran dan cinta damai.