REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pengajar antropologi sosial di American University Central Asia di Bishkek, Kirgistan, Julia Droeber di ISIM Newsletter Leiden University 2003, menceritakan, Ramadhan di Kirgistan tidak seperti di negara mayoritas Muslim lainnya. Muslim yang berpuasa jarang ditemui. Ia menduga, pengaruh serangan budaya Barat dan ateisme, warisan Uni Soviet, cukup berdampak signifikan terhadap pola keagamaan di Kirgistan.
Meski demikian, fenomena ini kian berubah. Jumlah warga Kirgistan yang berpuasa meningkat antara empat hingga lima persen tiap tahunnya, seperti ditulis Asker Sultanov dan Gulmira Kamziyeva dalam laporan mereka “More Central Asians Start Performing Ramadan Rites” di laman Central Asia Online. Keduanya juga mengutip Institut Riset Regional Kyrgyzstan pada 2012 mencatat sekitar 60 persen warga Kirgistan ikut berpuasa Ramadhan pada 2012.
Jumlah terbesar pelaksananya justru dari wilayah-wilayah perdesaan. Bahkan, tiap tahun puasa Ramadhan tidak hanya dilakukan generasi muda, tapi juga mereka yang sudah lanjut usia dan baru mengenal puasa Ramadhan setelah Kirgistan merdeka.
Siaran televisi dan koran, tulis Sulatnov, juga semakin banyak yang menampilkan isu-isu keislaman. Dunia perbankan juga menunjukkan respons positif terhadap Islam dengan kehadiran bank syariah.
Di laman yang sama, Bakyt Ibraimov menulis pada 2011 SAMK juga mengusulkan Jumat sebagai hari libur untuk memudahkan umat Islam menunaikan shalat Jumat. Sebagai negara sekuler, Pemerintah Kirgistan menolak karena jam shalat Jumat merupakan waktu kerja. Tapi, pekerja Muslim diizinkan meninggalkan pekerjaan untuk shalat Jumat saat waktu shalat tiba.
Jumlah jamaah haji Kirgistan cenderung naik tiap tahunnya. Kuota haji Kirgistan sebanyak 3.685 jamaah. Lebih sedikit dari 2012, sebanyak 5.500 jamaah dampak renovasi Masjidil Haram. Jamaah terbanyak merupakan Muslim dari kota tua Osh, Jalalabad, dan Batken. Jamaah haji mengeluhkan kurangnya kuota, sebab antrean haji Kirgistan sudah mencapai waktu tunggu tiga tahun.