REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Harapan umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan usai merdeka dari Uni Soviet butuh perjuangan. Pemerintahan baru memilih sekularisme menggantikan sistem komunis.
Pada 2010 lalu, Pemerintah Kirgistan mengeluarkan undang-undang baru yang membatasi kegiatan kehidupan beragama di sana.
Banyak pihak yang meyakini undang-undang tersebut sengaja diberlakukan sebagai upaya pemerintah untuk memaksakan pandangan tentang agama tertentu pada masyarakat dan targetnya adalah komunitas Muslim di negara tersebut.
Undang-undang yang baru dikeluarkan ini mewajibkan kelompok-kelompok keagamaan, baik yang sudah resmi (legal) maupun belum, untuk mendaftarkan organisasinya. Berdasarkan peraturan tersebut, sebuah organisasi keagamaan harus memiliki anggota sedikitnya 200 orang sebelum dinyatakan boleh beroperasi oleh pemerintah.
Undang-undang itu juga melarang distribusi literatur, baik dalam bentuk cetak, audio, atau rekaman video keagamaan di tempat-tempat umum, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Para pemuka agama di Kirgistan mengungkapkan keberatannya atas pemberlakuan undang-undang ini. Mereka menilai keberadaan undang-undang tersebut menindas kehidupan beragama di sana.
Kirgistan adalah negara kecil berbentuk republik di kawasan Asia Tengah, yang pernah berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Negara ini berbatasan langsung dengan Cina, Tajikistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan. Mayoritas penduduk Kirgistan adalah pemeluk Islam.
Berdasarkan sensus terakhir pada tahun 2007, jumlah penduduk Kirgistan mencapai 5,5 juta orang. Dan sekitar 80 persen penduduknya beragama Islam, 18 persen berafiliasi dengan Gereja Ortodoks Rusia, dan dua persen sisanya adalah penganut Yahudi dan keyakinan lainnya.