REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kirgistan adalah negara kecil berbentuk republik di kawasan Asia Tengah, yang pernah berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Negara ini berbatasan langsung dengan Cina, Tajikistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan. Mayoritas penduduk Kirgistan adalah pemeluk Islam.
Berdasarkan sensus terakhir pada tahun 2007, jumlah penduduk Kirgistan mencapai 5,5 juta orang. Dan sekitar 80 persen penduduknya beragama Islam, 18 persen berafiliasi dengan Gereja Ortodoks Rusia, dan dua persen sisanya adalah penganut Yahudi dan keyakinan lainnya.
Meski pemeluk Islam mendominasi, namun Pemerintah Kirgistan termasuk keras dan tegas terhadap warga Muslim. Seperti kebijakan yang diambil Pemerintah Kirgistan awal tahun ini. Januari 2010 lalu, Pemerintah Kirgistan mengeluarkan undang-undang baru yang membatasi kegiatan kehidupan beragama di sana.
Banyak pihak yang meyakini undang-undang tersebut sengaja diberlakukan sebagai upaya pemerintah untuk memaksakan pandangan tentang agama tertentu pada masyarakat dan targetnya adalah komunitas Muslim di negara tersebut.
Undang-undang yang baru dikeluarkan ini mewajibkan kelompok-kelompok keagamaan, baik yang sudah resmi (legal) maupun belum, untuk mendaftarkan organisasinya. Berdasarkan peraturan tersebut, sebuah organisasi keagamaan harus memiliki anggota sedikitnya 200 orang sebelum dinyatakan boleh beroperasi oleh pemerintah. Undang-undang itu juga melarang distribusi literatur, baik dalam bentuk cetak, audio, atau rekaman video keagamaan di tempat-tempat umum, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Para pemuka agama di Kirgistan mengungkapkan keberatannya atas pemberlakuan undang-undang ini. Mereka menilai keberadaan undang-undang tersebut menindas kehidupan beragama di sana.
Seorang pemuka Islam di Kirgistan, Kadyr Malikov, menyatakan, undang-undang ini menyulitkan gerakan-gerakan Islam dan komunitas Muslim di Kirgistan. Di samping itu, ia juga menilai isi undang-undang itu terlalu berlebihan dan menimbulkan kesan bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan seakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Kirgistan.
Orang-orang di pemerintahan tidak bisa membedakan antara ajaran dan tradisi Islam yang damai dengan ekstremis. Tentunya ini akan mempersulit kami jika ingin membangun madrasah atau masjid baru dan (juga) mempersulit hubungan antara pemerintah yang sekuler dengan komunitas Muslim, papar Malikov seperti dikutip laman situs Islamonline.
Pengekangan terhadap kebebasan beragama di Kirgistan sebenarnya sudah lama dirasakan oleh umat Islam di sana. Tahun 2007, Pemerintah Kirgistan sudah menerapkan larangan jilbab di sekolah-sekolah di wilayah selatan. Akibatnya, sejumlah siswi yang memakai jilbab, terpaksa keluar bahkan putus sekolah.
Pada awal Maret 2009 lalu, Pemerintah Kirgistan kembali menegaskan soal pelarangan jilbab di institusi pendidikan ini. Damira Kudaibergenova, salah satu staf senior di Departemen Pendidikan berdalih bahwa Kirgistan adalah negara yang menganut sistem sekularisme. Ketika pilihan dihadapkan antara pendidikan dan kerudung, kami memilih pendidikan, ujarnya kepada kantor berita Reuters.
Kudaibergenova menganggap jilbab dan agama sebagai bentuk serangan terhadap para siswa di sekolah. Untuk itu, kata dia, mereka harus dilindungi. Kudaibergenova juga mengeluhkan para siswa yang tidak hadir di kelas pada hari Jumat siang karena melaksanakan shalat Jumat.
Kendati fakta di lapangan memperlihatkan hal demikian, namun Kepala Komisi Keagamaan Kanibek Osmonaliyev membantah bahwa pemerintah sudah membatasi kebebasan beragama di negeri itu. Osmonaliyev berdalih bahwa pemerintah hanya ingin menertibkan kelompok-kelompok keagamaan yang ada.
Masyarakat yang meminta kami menertibkan mereka, karena masyarakat khawatir keluarga mereka terpecah belah akibat pengaruh kelompok-kelompok tersebut, tukas dia.