REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mencatat angka perkawinan usia anak atau pernikahan dini di Provinsi Sulawesi Tengah masih di atas rata-rata nasional. Angkanya bertengger di 15,8 persen.
"Rata-rata angka perkawinan usia anak secara nasional 11,2 persen, Sulawesi Tengah masih di atas ini terjadi sebelum dan sesudah bencana," kata Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan olahraga Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaninggrum di Palu, Selasa.
Menurut Woro, masalah perkawinan usia anak atau pernikahan dini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ia menyatakan, hal itu bukan hanya menjadi tanggung jawab satu sektor dan perlu pendekatan secara komprehensif serta melibatkan semua pihak.
"Apa lagi situasi pascabencana, risiko terjadinya pernikahan usia anak semakin besar jika tidak dilakukan penanganan secara sigap dan tepat," ujar Woro.
Dia menyebut, Bappenas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini sedang menyusun strategi nasional pencegahan pernikahan usia anak yang diharapkan mendapat masukan dan saran dari pemerintah daerah yang masih mengalami kerentanan.
"Kami sangat berharap bisa membangun kerja sama dengan pemerintah daerah, karena dampak ditimbulkan dari pernikahan dini akan berpengaruh terhadap ekonomi, kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, serta kematian ibu dan bayi," ungkapnya.
Selain itu, berdasarkan kajian indeks pembangunan pemuda menurut Bappenas, Sulawesi Tengah berada di urutan 23 dari 34 provinsi di Tanah Air. Artinya, masih jauh di bawah daerah maju lainnya.
Woro menjelaskan, tolak ukur indeks pembangunan pemuda dilihat dari lima domain di antaranya pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan serta gender dan diskriminasi.
"Dari lima domain yang paling penting terjadi di Sulawesi Tengah adalah masalah gender dan diskriminasi dengan penyumbang terbesarnya perkawinan usia anak," ungkapnya.
Bappenas menilai, kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual, gender dan diskriminasi menjadi isu sentral untuk segera diselesaikan agar kelompok-kelompok rentan bisa hidup layak.
"Penyelesaian masalah ini menjadi tugas bersama baik pemerintah, lembaga. hingga pemangku kepentingan di Sulawesi Tengah. Bagaimana perempuan bisa bekerja di sektor formal pascabencana," katanya.