Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Yenny Wahid, serta Yunarto Wijaya berdikusi bersama Najwa Shihab di Melbourne untuk mengajak warga diaspora Indonesia kembali bersatu setelah Pemilihan Umum 2019.
Dalam acara Catatan Najwa Goes To Melbourne yang digelar di kampus Monash University di Clayton, Sabtu siang (6/07), keempatnya mengawali perbincangan dengan keresahan yang mereka rasakan di saat kampanye jelang pemilu.
Sebagai pembawa acara, Najwa Shihab mengaku belum pernah sebelumnya hingga harus membahas soal toleransi selama ia berkarier menjadi wartawan selama 20 tahun terakhir.
"Sepertinya dulu toleransi itu sudah tertanam dalam kehidupan kita sebagai orang Indonesia," ujar Najwa, yang menjadi salah satu pendiri Narasi TV.
Ia mengaku baru sekarang-sekarang ini masalah toleransi dan identitas menjadi sebuah topik yang ramai diperbicangkan, sehingga "Merawat Indonesia" terpilih menjadi topik yang dibawa ke Melbourne.
Tetapi Profesor Ariel Heryanto, Direktur dari Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre di Australia, yang hadir menonton sempat mempertanyakan mengapa diskusi hanya dari "satu kubu".
Najwa memberikan tanggapan dengan mengatakan "harus sampai kapan lagi" identitas seseorang dianggap melekat dengan kubu 01 dan 02.
Berkaca dari apa yang terjadi
Suku dan agama menjadi hal yang mungkin hingga saat ini masih menjadi topik yang sensitif, seperti juga yang dirasakan Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif lembaga survei Charta Politika.
Ia mengatakan banyak warga Indonesia yang kini harus dengan hati-hati memilih kata dan topik, bahkan dengan orang-orang terdekat sekalipun.
Yunarto yang akrab dipanggil Toto pernah ramai diperbincangkan pada April lalu karena dilaporkan menerima tantangan akan pindah ke China atau Korea Utara jika Prabowo Subianto memenangkan Pilpres 2019.
Sementara Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menilai yang paling memperkeruh suasana saat menjelang Pemilu kemarin sebenarnya adalah jejaring sosial.
"Follower itu ngomongnya lebih ngeri daripada yang di-follow," kata Ganjar yang juga politisi dari Partai PDI-P.
"NKRI sudah cukup syariah"
Ganjar menilai ada sejumlah faktor yang menyebabkan mengapa begitu terpecahnya warga Indonesia saat menjelang pemilu.
Menurutnya ada keinginan tertentu dan produk ideologis yang kemudian ditunggangi secara bebas oleh sejumlah orang dengan tujuan yang berbeda-beda.
"Yang harus diwaspadai saat ini adalah ideologis," kata Ganjar, setelah Catatan Najwa menayangkan sebuah video cuplikan deklarasi kekhalifahan yang dilakukan di salah satu sekolah di Indonesia.
Begitu pula saat Najwa kembali mengingatkan sebuah survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun lalu, yang menunjukkan lebih dari 50 persen guru Muslim memiliki opini intoleran terhadap agama lain.
Tetapi menurut Yenny Wahid memberikan label intoleran dan radikal juga harus berhati-hati, karena banyak diantara mereka yang sebenarnya tidak memahami benar soal ideologi yang ditawarkan.
"Radikal itu sedikit jumlahnya, tetapi memang berisik," ujarnya yang saat Pilpres mendukung Joko Widodo.
Yenny mengaku jika Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebenarnya sudah cukup mewakili prinsip-prinsip syariah Islam.
"Apa lagi yang kurang? Di Indonesia kita ini yang jadi mayoritas, tapi narasi yang dibangun malah Islam sedang ditindas," jelasnya.
Bukan sekedar soal agama
Yunarto mengatakan fenomena yang "berbau" keagamaan ini sebenarnya terjadi juga di agama-agama lain, seperti yang ia rasakan di kalangan Katolik.
"Ada juga yang tiba-tiba mengaku jadi pendeta ... juga bermunculan gereja di ruko-ruko dan sudah meng-kavling-kan siapa yang masuk surga dan neraka," katanya.
Jadi menurutnya, jika mereka pun menjadi mayoritas dan memiliki mental yang sama maka suasana seperti ini bisa jadi akan terjadi juga.
"Karenanya, bacalah dan bergaulah, kita akan lebih bisa memahani satu sama lain," ajak Yunarto.
"Saya yakin mau pileg dan pilpres-nya seperti bagaimana pun, kalau saling memahami maka akan saling mengenal saudara kita yang berbeda agama dan etnis lain."
Saatnya 'Move on'
Kepada warga Indonesia di Melbourne, Ganjar Pranowo mengingatkan kembali jika pemilu telah usai dan pemenang telah ditetapkan.
"Yang menang enggak usah sombong, yang kalah enggak usah marah, kita menatap masa depan bersama," katanya.
"Begitu juga follower-nya, sudah selesai kok, mari kita bersilaturahmi."
Ia juga mengajak agar mulai sekarang para pengguna jejaring sosial untuk lebih menuliskan kalimat-kalimat positif yang membanggakan dan bisa menyatukan.
"Kita miliki persamaan, dicubit sakit, lapar harus makan, hujan butuh payung, jadi yang dibutuhkan saat ini adalah menjaga perasaan," ujarnya.
Sementara Yunarto menegaskan jika sekarang "kita tidak ada lagi cebong dan kampret", sehingga jangan membiarkan perbedaan yang justru akan membuat hubungan semakin terkoyak.
Yenny menambahkan dengan pendapatnya jika kubu Joko Widodo perlu mendengarkan aspirasi juga dari kubu Prabowo Subianto dan "bukan semata-mata bagi-bagi kursi kabinet."
Sesi tanya jawab yang terburu-buru
Dalam acara diskusi tersebut sebenarnya telah diberikan kesempatan sesi tanya jawab, namun sayangnya sejumlah penonton terlalu berpanjang lebar dalam memaparkan pertanyaan, sehingga panelis tak punya cukup banyak waktu untuk memberikan tanggapan.
Lagu Indonesia dalam tiga versi dinyanyikan sebelum acara dan banyak hadirin yang mengaku belum pernah mendengarnya dan di akhir acara giliran lagu Tanah Airku yang dikumandangkan, setelah Najwa membacakan Catatan Najwa yang bernuansa puitis.
Pihak penyelenggara mengaku jika lebih dari 700 tiket acara Catatan Najwa Goes to Melbourne telah terjual dan kebanyakan di kalangan mahasiswa.
Catatan Najwa Goes To Melbourne diselenggarakan atas kerjasama Narasi TV, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Monash Community dan Indonesian Diaspora Network of Victoria.
Laporan dari komunitas warga Indonesia di Australia dan informasi kerja dan studi di Australia bisa Anda dapatkan di situs ABC Indonesia.