REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kitab shahihain (Bukhari dan Muslim) dijelaskan tentang asal-usul penamaan Khidir. Suatu ketika ia duduk di atas tanah kering berwarna putih. Tiba-tiba tanah yang ia duduki berguncang dari bawah lalu berubah menjadi hijau (khadra).
Pendapat ini pernah diungkapkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal menukil perkataan dari gurunya bernama Adullah bin Mubarak, seorang yang kuat argumentasinya.
Kitab az-Zahrun Nadhir juga mengungkap pendapat Imam Ahmad dengan redaksi sebagai berikut: Kami mendapatkan kisah dari Abdurrazzaq, ia diberitahu kisah Ma'mar dari Hammam dari Abu Hurairah, bahwasanya dinamakan Khidir karena ia duduk di atas farwah kemudian tanah itu berguncang dari bawah dan berubah menjadi hijau.
Dalam kisah ini, farwah diartikan rumput kering berwarna putih. Ibnu Hajar al-Asqalani juga melengkapi karyanya dengan sejumlah dalil-dalil dari Alquran tentang kenabian Khidir. Ia mengutip surat al-Kahfi (18) ayat ke-81, yang artinya, Dan tidaklah aku melakukannya karena kemauanku sendiri.
Secara tekstual, ayat ini bisa dipahami bahwa Nabi Khidir melakukannya karena perintah Allah. Perintah itu sampai kepadanya tanpa perantara. Ada pula kemungkinan lain bahwa perintah itu disampaikan melalui perantara nabi lain yang tidak disebutkan oleh Allah di dalam Alquran. Namun, Ibnu Hajar al- Asqalani mengingkari pendapat ini.
Kitab ini juga dilengkapi dengan pendapat seorang sejarawan Muslim terkenal bernama Abu Ja'far bin Jarir ath-Thabari dalam kitab tarikhnya. Ia berpendapat bahwa Nabi Khidir termasuk orang yang hidup di zaman Raja Afridun (salah satu raja Persia).
Selain mengupas tentang asal mula Nabi Khidir, kitab az-Zahru an-Nadhir fi Naba'i al-Khadir juga mengungkap sejumlah lainnya yang berkaitan dengan Nabi Khidir, seperti kisahnya dengan selain Nabi Musa AS, nasihat-nasihat dan ungkapan dari Nabi Khidir.