Ramadhan tahun ini, Fadil hanya berharap satu hal.Semoga, ia mendapatkan jodoh. Usianya sudah kepala tiga. Dan ia sudah sangat ingin memberikan cucu untuk ibunya yang tinggal di kampung bersama adik satu-satunya.
Namun, jodoh, rezeki, dan maut Allah yang punya. Beberapa kali ia nyaris mendapatkan istri, tapi selalu saja ada halangan yang membuat mimpinya pupus.
Sejak SMA hingga tamat kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Fadil tidak mau pacaran. Baginya, selain tidak sesuai dengan keyakinan agamanya, pacaran juga hanya buang-buang waktu dan memberi harapan palsu alias PHP.
Dua tahun setelah lulus kuliah, ia menemui Aisah, teman mainnya waktu kecil di sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat. Ia bermaksud melamar Aisah. Tapi, ia terlambat.
"Mohon maaf, Kang Fadil. Akang terlambat. Minggu lalu, Kang Lukman, teman Akang yang kini jadi guru madrasah dan ustaz di kampung kita ini melamar Aisah. Ibu dan Bapak menerima lamaran tersebut. Sebetulnya, sejak Akang kuliah di IPB dan lulus sebagai dokter hewan, Aisah menunggu Akang. Tapi, Akang tidak pernah datang. Mungkin, kita memang tidak berjodoh. Tapi, Aisah yakin, Allah pasti sudah menyiapkan wanita yang lebih segalanya dari Aisah untuk menjadi istri Dokter Hewan Fadil," kata Aisah yang kini menjadi seorang guru di sebuah SD negeri di Cianjur.
Tahun berikutnya, Fadil bertemu dengan seorang ukhti yang sangat lembut dan selalu menundukkan pandangan saat bertemu dengannya. Namanya Qurrata A'yun. Keduanya bertemu di sebuah acara tabligh akbar yang digelar di Masjid Al- Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.
Fadil langsung mengutarakan niatnya untuk mengkhitbah gadis asal Banjarmasin yang saat ini tengah mengambil S-2 di Universitas Al-Azhar Jakarta. Qurrata A'yun setuju. Tapi, dia akan minta izin terlebih dahulu kepada ayahnya.
Saat itu, baru saja ujian semester. Minggu depan, tidak ada kegiatan kampus. Qurrata A'yun pulang ke Banjarmasin.
Namun, ia tidak pernah lagi kembali ke Jakarta. Pesawat yang ditumpanginya jatuh saat hendak mendarat. Pesawat terbakar. Lebih separuh penumpangnya tewas, termasuk Qurrata A'yun.
Butuh waktu tiga tahun bagi Fadil untuk melupakan gadis salihah bermata bening itu. Sampai akhirnya, teman kuliahnya, Adian, menghubunginya dan mengatakan bahwa salah seorang teman kuliah mereka, Nadira, sampai sekarang masih jomlo.
"Dil, kamu masih ingat Nadira, kan? Itu lho, gadis tinggi semampai yang kalau kuliah sering duduk di bangku sebelahmu? Ingat dong. Dia masih sendiri, lho. Sekarang dia berjilbab. Tambah cantik dibanding dulu waktu rambutnya masih kelihatan. Rumahnya di Ciputat. Bagaimana kalau kita ketemu di McDonald's dekat UIN Ciputat? Jangan khawatir, aku yang membayari. He he he."
Sabtu sore, Fadil, Adian, dan Nadira bertemu di restoran Amerika tersebut. Selesai makan kentang dan burger, Adian langsung ke pokok persoalan.
"Nadira, Kamu kan masih jomlo. Nah, ini si Fadil juga masih jomlo. Jangan terlalu lama menjomlo. Gak baik. Mending seperti aku nih. Umur 24 nikah. Sekarang udah punya buntut dua orang," kata Adian.
Fadil tersenyum kecil. Nadira tersenyum samar.
"Jadi, Fadil dan Nadira. Kupikir-pikir, mengapa kalian tidak menikah saja? Kalian kan sudah saling kenal sejak zaman kuliah. Sudah tahu kartu masing-masing. Ha ha ha."
"Adian, terima kasih telah memfasilitasi pertemuan ini. Nanti saya kabari jawaban saya," kata Nadira dengan suara perlahan, tapi tegas.
"Oke, siap. Kami tunggu ya," kata Adian.
Besok sore, Adian menemui Fadil. "Dil, maafkan aku. Ternyata Nadira menolak."
"Fadil menarik napas panjang. Mungkin memang bukan jodohku," ujarnya perlahan.
Aku penasaran, makanya aku tanya Nadira, apa alasannya menolak Fadil. Jawabannya gak esensial banget.
"Apa katanya?"
"Karena katanya engkau kurang tinggi. Dia tingginya 170 cm. Dia mencari laki-laki yang tingginya minimal sama atau bahkan lebih dari dia."
"Aku agak tersinggung juga nih. Mosok gadis berjilbab mencari jodoh pakai pertimbangan tinggi badan?"
"Lho, apa salahnya? Apakah wanita berjilbab tidak boleh punya selera? Sudahlah, Dian. Kita doakan, semoga Nadira segera bertemu laki-laki yang dia harapkan."
"Maafkan aku ya, Dil. Misiku gak berhasil."
"No problem. Terima kasih atas perhatianmu yang luar biasa sebagai seorang kawan. Sesama kawan, kita harus saling membantu, Dil."