Ahad 24 Nov 2019 15:16 WIB

Tujuh Ratus Tahun Kerinduan

“Mari mengembara dan menari melampaui waktu,” jawabmu

Secangkir Puisi. Ilustrasi.
Secangkir Puisi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Munjid

Kulepas kau pergi dalam sunyi

Bersama jutaan daun-daun gugur ketika musim mulai mengigil

Kusaksikan kau berlari menghela kecewa, menjadi deru angin

Yang keras menghempas-hempas rindu ke segala penjuru

Meninggalkan sayat-sayat luka yang porak-poranda di dadaku

Dulu kau datang serupa mimpi, pada ketukan pintu yang tak pasti

Dalam aroma, dalam isyarat-isyarat, dalam kelebat-kelebat,

Dengan pikiran-pikiran yang membubung menyentuh langit

Lalu turun di dadaku menjelma bergulung-gulung gelombang

Dan di matamu pun layar telah berkibar-kibar terbentang

“Mari mengembara dan menari sepanjang waktu,” ajakku

“Mari mengembara dan menari melampaui waktu,” jawabmu

“Aku tak peduli masa lalu di belakangmu,” kataku

“Aku tak mau tahu hari ini yang mengelilingimu,” katamu

Mimpi dan kenyataan lumat menjelma rahasia cakrawala

Kita segera berkelana menaklukkan tujuh benua di dalam dada

Berziarah ke tujuh puluh kastil-kastil tua di balik gugusan trauma

Menyelami tujuh ratus danau yang diam menyimpan kenangan

Menyinggahi tujuh ribu pulau yang membeku berselimut kesedihan

Menempuh tujuh juta mil jalan yang berkelok melintasi keheningan

Kita baca berjilid-jilid buku yang perih mengisahkan perkabungan

Kita melintasi makam kekasih yang terkubur sendiri di tengah hutan

Di bawah pohon beranting runcing yang tertutup oleh keterasingan

Kita menyaksikan ribuan manusia berjubah meneriakkan kebencian

Suaranya menggelegar menjelma petir berkilat-kilat di balik awan hitam

Seorang perempuan tua duduk tersedu di tengah ribuan remaja yang

Tertawa tanpa gembira dan saling bertukar cinta tanpa kasih sayang

Seorang bocah bercucur air mata hingga pilunya menjelma rintik hujan

Lalu sekawanan burung terbang ke Selatan dalam kelepak kecemasan

Di ufuk Barat matahari tergesa tenggelam memasuki kegelapan malam

Maka datanglah musim gugur itu di persimpangan

Kau memilih imajinasi, aku memilih kenyataan

Dan di antara kita pun terbentang tujuh ratus tahun kerinduan

Juga bergumpal-gumpal kabut entah ragu, entah penyesalan

Ke arah manapun, yang kusaksikan kini adalah kehilangan

Setiap kulukis kembali tatapan matamu

Kusaksikan beribu-ribu kupu-kupu terbang mengepakkan rindu

Pada kenangan wajahmu, pikiran menolak untuk dirumuskan

Kalimat-kalimat menyelinap lepas dari tangkapan penafsiran

Pertanyaan-pertanyaan gelisah gagal menemukan jawaban

Aku tak tahu darimana datangnya rindu yang begini menderu

Tapi aku akan terus berdiri di sini, didera siksa tak terperi

Aku tak akan merintih, meski lenyap dalam dentang waktu

Di sini, kau saksikan tubuhku tegak lurus dengan sepi

tanpamu. Setia menyangga tujuh ratus tahun kerinduan

 

Bulaksumur, 18 November 2019

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement