REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad Munjid
Kulepas kau pergi dalam sunyi
Bersama jutaan daun-daun gugur ketika musim mulai mengigil
Kusaksikan kau berlari menghela kecewa, menjadi deru angin
Yang keras menghempas-hempas rindu ke segala penjuru
Meninggalkan sayat-sayat luka yang porak-poranda di dadaku
Dulu kau datang serupa mimpi, pada ketukan pintu yang tak pasti
Dalam aroma, dalam isyarat-isyarat, dalam kelebat-kelebat,
Dengan pikiran-pikiran yang membubung menyentuh langit
Lalu turun di dadaku menjelma bergulung-gulung gelombang
Dan di matamu pun layar telah berkibar-kibar terbentang
“Mari mengembara dan menari sepanjang waktu,” ajakku
“Mari mengembara dan menari melampaui waktu,” jawabmu
“Aku tak peduli masa lalu di belakangmu,” kataku
“Aku tak mau tahu hari ini yang mengelilingimu,” katamu
Mimpi dan kenyataan lumat menjelma rahasia cakrawala
Kita segera berkelana menaklukkan tujuh benua di dalam dada
Berziarah ke tujuh puluh kastil-kastil tua di balik gugusan trauma
Menyelami tujuh ratus danau yang diam menyimpan kenangan
Menyinggahi tujuh ribu pulau yang membeku berselimut kesedihan
Menempuh tujuh juta mil jalan yang berkelok melintasi keheningan
Kita baca berjilid-jilid buku yang perih mengisahkan perkabungan
Kita melintasi makam kekasih yang terkubur sendiri di tengah hutan
Di bawah pohon beranting runcing yang tertutup oleh keterasingan
Kita menyaksikan ribuan manusia berjubah meneriakkan kebencian
Suaranya menggelegar menjelma petir berkilat-kilat di balik awan hitam
Seorang perempuan tua duduk tersedu di tengah ribuan remaja yang
Tertawa tanpa gembira dan saling bertukar cinta tanpa kasih sayang
Seorang bocah bercucur air mata hingga pilunya menjelma rintik hujan
Lalu sekawanan burung terbang ke Selatan dalam kelepak kecemasan
Di ufuk Barat matahari tergesa tenggelam memasuki kegelapan malam
Maka datanglah musim gugur itu di persimpangan
Kau memilih imajinasi, aku memilih kenyataan
Dan di antara kita pun terbentang tujuh ratus tahun kerinduan
Juga bergumpal-gumpal kabut entah ragu, entah penyesalan
Ke arah manapun, yang kusaksikan kini adalah kehilangan
Setiap kulukis kembali tatapan matamu
Kusaksikan beribu-ribu kupu-kupu terbang mengepakkan rindu
Pada kenangan wajahmu, pikiran menolak untuk dirumuskan
Kalimat-kalimat menyelinap lepas dari tangkapan penafsiran
Pertanyaan-pertanyaan gelisah gagal menemukan jawaban
Aku tak tahu darimana datangnya rindu yang begini menderu
Tapi aku akan terus berdiri di sini, didera siksa tak terperi
Aku tak akan merintih, meski lenyap dalam dentang waktu
Di sini, kau saksikan tubuhku tegak lurus dengan sepi
tanpamu. Setia menyangga tujuh ratus tahun kerinduan
Bulaksumur, 18 November 2019