REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu karya Ibnu Khaldun yang paling monumental adalah Muqaddimah. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa dia mendirikan ilmu baru, 'ilmu al-'umran (ilmu tentang organisasi sosial).
Karyanya ini masih terus dikaji hingga saat ini. Beberapa pemikir sosial menganggap Muqaddimah sebagai risalah dalam sosiologi, lalu memandangnya sebagai pendiri sosiologi.
Sarjana Jerman, Heinrich Simon, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang mencoba merumuskan hukum-hukum sosial. Ibnu Khaldun mempelajari masyarakat manusia sebagai sui generis. Dia juga menekankan adanya saling bergantung antarbidang kehidupan agama, politik, ekonomi, militer, dan budaya.
Ashhabiyah (solidaritas sosial) adalah inti pemikiran Ibnu Khaldun tentang badawah (nomadisme-ruralisme), hadharah (urbanisme), serta tegak dan runtuhnya negara. Mendirikan negara adalah tujuan ashhabiyah, khususnya ashhabiyah nomadis. Kemewahan dan kesenangan kehidupan urban cenderung melemahkan ashhabiyah ini.
Salah satu karya Ibnu Khaldun dalam bidang sosiologi, yakni kitab al-I'bar, pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863 dengan judul Les Prolegomenes d'Ibnu Khaldoun. Namun, pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog Jerman dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.
Dr Bryan S Turner, guru besar sosiologi di Universitas Aberdeen, Skotlandia, dalam artikelnya The Islamic Review and Arabic Affairs tahun 1970-an mengomentari sejumlah karya Ibnu Khaldun. Turner menyatakan, tulisan Ibnu Khaldun tentang sosial dan sejarah merupakan satu-satunya karya intelektual yang diterima dan diakui di Barat.
Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris), ujar Turner.