REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam acara ijtima ulama Alquran, Cendekiawan Alquran Indonesia, Prof Said Aqil Husein al-Munawwar juga menjelaskan bahwa terjemahan Alquran dari masa ke masa sangat dinamis. Kandungan atau pesanpesan dalam Alquran sangat luas, sehingga kajian atau penerjemahan Alquran tidak akan ada habisnya.
"Dipastikan kajian terhadap Alquran tidak akan pernah selesai sampai selesai pula para penerjemah atau para mufasir itu dari dunia ini. Jadi, ini menunjukkan begitu luasnya (kandungan Alquran Red),"ujarnya.
Di Nusantara, banyak ahli yang menegaskan bahwa penerjemahan Alquran tertua terjadi pada abad ke-17 M atas jasa Abdul Ra'uf al-Sinkili (1615-1693 M). Cendekiawan asal Aceh tersebut merupakan orang pertama menerjemahkan Alquran secara lengkap di Indonesia yang ia beri judul Tarjuman al-Mustafid.
Selain dicetak di Indonesia, karya tersebut juga digunakan oleh umat Islam di Singapura dan Malaysia. Tafsir itu pernah diterbitkan di Singapura, Pe nang, Bombay, Istanbul, Kairo, dan Makkah. Selanjutnya, pada 1924 mun cul lah Kitab Alquran Bahasa Jawa dengan aksara pegon. Kitab ini disusun oleh Raden Muhammad Adnan dari Surakarta.
Selain dua karya tersebut sebenarnya masih banyak karya sejenis, tapi me nurut Said, hampir semuanya berbentuk tafsir Alquran, seperti Tafsir Alquran al- Adzim yang ditulis oleh Raden Pengulu Tafsir Anom V pada abad ke-18. Selain itu, ada juga Tafsir al-Balagh yang disusun oleh KH Imam Ghazali dari Manbaul Ulum Solo (1936 M), Raudhatul Irfan fi Ma'rifatil Qur'an karya KH Sa noesi Sukabumi (1888-1950), Tafsir al-Ibriz karya KH Bisri Mustafa (1915-1977), dan lain-lain.
Prof Said mengatakan, karya-karya terjemahan Alquran berbahasa Indonesia waktu itu masih terbilang sedikit. Sehingga, Pemerintah Republik Indonesia pun menaruh perhatian besar terhadap terjemahan Alquran ini.
Untuk melaksanakan program ini, Kementerian Agama kemudian membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo, mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurut Prof Said, tim pe nerjemahan Alquran waktu itu ber anggota kan para ulama yang mempu nyai keahlian dalam bidangnya masing-masing.
Pada masa Orde Baru, Pemerintah Indonesia kemudian menggencarkan pencetakan kitab suci Alquran. Pada Repelita V (1984- 1989), misalnya, telah di cetak 3.729.250 buah Alquran yang ter diri atas Mushaf Alquran, Juz 'Amma, Al quran dan Terjemahannya, serta Alquran dan Tafsirnya.
Baru kemudian pada 1965 muncul usaha dari pemerintah Indonesia dengan judul Alquran dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Karya ini per tama kali diterbitkan oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Alquran Departemen Agama pada 17 Agustus 1965. Keberadaan Alquran dan Terjemahnya tersebut sangat membantu masyarakat memahami pengertian dan makna Alquran.
Walaupun, menurut dia, di saat yang sama harus disadari sepenuhnya bahwa terjemahan Alquran dalam bahasa manapun tidak dapat sepenuhnya menggambarkan secara utuh maksud ayat-ayat Alquran. Bahkan, proses penerjemahan Alquran tidak menutup kemungkinan ada kesalahan-kesalahan. Menurut Prof Said, penerjemah cenderung salah dalam memaknai bahasa Alquran karena tidak menguasai ulumul Quran atau ilmu-ilmu Alquran.
Karena itu, Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) telah berupaya beberapa kali memperbaiki dan menyempurnakan terjemah Alquran. Kita bersyukur sekarang ada usaha untuk melakukan revisi penyempurnaan setelah LPMQ ini bekerja dengan seluruh kemampuannya dengan tim yang dibekali ilmu pengetahuan, kata Prof Said.
Dalam perjalanannya, terjemahan Alquran di Indonesia setidaknya sudah tiga kali direvisi melalui forum Musyawarah Kerja nasional (Mukernas) Ulama Alquran, tepatnya dimulai pada 1990. Kemudian, pada 1998 sampai 2002 dan pada 2016 sampai pada pelaksanaan Ijtima Ulama Alquran yang baru saja digelar LPMQ di Bandung pada 8-10 Juli 2019.