Selasa 16 Jul 2019 07:44 WIB

Pasien Kanker Banyak Berobat ke Luar Negeri, Apa Sebab?

Pemerintah bisa menekan kerugian negara akibat pasien kanker berobat ke luar negeri.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Terapi radiologi untuk kanker. Ilustrasi
Foto: Typesoftumors
Terapi radiologi untuk kanker. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli penyakit dalam dan onkologi medik Dr Ronald A Hukom SpPD-KHOM mengatakan, pemerintah dapat menekan kerugian negara akibat keputusan masyarakat untuk berobat kanker ke luar negeri. Untuk itu, ia menyerukan agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan mengupayakan agar penatalaksanaan kanker yang sesuai dengan perkembangan standar medis bisa diakses pasien yang memerlukan, terutama melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ronald mengungkapkan, banyak warga negara Indonesia yang masih berobat ke Cina, Malaysia, dan Singapura. Itu terjadi karena mereka menganggap mutu pengobatan kanker di dalam negeri belum memuaskan.

Baca Juga

"Ratusan triliun rupiah dihabiskan, padahal angka ini sebetulnya bisa ditekan bila Kementerian Kesehatan bersama BPJS bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk untuk kanker,” ujar Ronald di sela acara media briefing Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS Kesehatan, di Jakarta, Senin (15/7)

Sebuah studi menyebutkan, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian 48 miliar dolar AS karena pasien yang berobat keluar negeri. Sementara itu, menurut Ronald, kemungkinan hanya diperlukan dana tiga sampai lima persen dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam lima sampai 10 tahun terakhir untuk membangun beberapa pusat kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.

"Jadi tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta,” kata Ronald yang juga ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam DKI Jakarta.

Di samping itu, Ronald mengatakan, perlu segera dibuat sistem audit pemakaian obat kanker untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penderita kanker. Dalam lima tahun pelaksanaan program JKN (2014-2019), belum pernah ada audit secara khusus pada pemakaian obat kanker, yang meneliti apakah rumah sakit dan BPJS Kesehatan di semua daerah/provinsi sudah mengikuti restriksi yang ditentukan dalam Formularium Nasional.

Secara khusus, Ronald menyoroti kasus pencabutan dua obat terapi target untuk kanker kolorektal dari Formularium Nasional sehingga pasien tidak bisa lagi mendapatkan obat yang diperlukan tersebut. Ia berpendapat, hal seperti itu seharusnya bisa dihindarkan dengan dijalankannya audit pemakaian obat kanker.

"Audit pemakaian obat kanker secara berkala akan membantu menyelamatkan miliaran rupiah dana JKN dan penderita kanker yang memang membutuhkan obat "mahal" tertentu untuk hasil terapi yang lebih baik, tidak dirugikan karena obat yang diperlukan tidak dijamin oleh BPJS,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement