REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesawat perintis N219 yang dikembangkan PT Dirgantara Indonesia (DI) bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) masih melengkapi jam terbang. Kelengkapan jam terbang tersebut untuk mendapatkan sertifikasi sebelum diproduksi secara massal untuk kebutuhan transportasi di Indonesia.
"Masih perlu menambah jam terbang, harapannya tahun ini selesai," kata Direktur Jenderal Penguatan Riset Dan Pengembangan Kemenristekdikti, Dimyati usai jumpa pers pra-penyelenggaraan Nasional Expo for Science And Technology (NEST), Rabu (17/7).
Saat ini, PT DI terus mengembangkan teknologi pesawat buatan anak negeri tersebut agar bisa digunakan di darat dan di perairan dengan tipe amfibi. "Saat ini pesawat itu baru bisa digunakan di lapangan dengan jarak pendek, namun ke depan juga bisa di perairan," kata dia.
Presiden memberikan nama pesawat N219 dengan julukan Nurtanio yang diambil dari nama Pahlawan Dirgantara Laksamana Muda Udara (Anumerta) Nurtanio Pringgoadisuryo.
Jika berhasil, maka pesawat buatan dalam negeri tersebut akan digunakan sebagai penunjang pariwisata hingga ke daerah terpencil sekaligus pengangkutan barang dan jasa. Ia menerangkan konsep pesawat perintis tipe amfibi itu juga dilatarbelakangi oleh pembicaraan dengan BJ Habibie yang menginginkan semua daerah terpencil dapat dijangkau.
Konsep tersebut merujuk pada keadaan geografis Indonesia yang memiliki pulau-pulau kecil dengan penduduk yang padat. Jika mengandalkan transportasi kapal, maka membutuhkan waktu yang lama.
Oleh karena itu, muncullah konsep membuat pesawat kecil yang tidak membutuhkan lapangan atau bandara yang luas seperti pada umumnya. "Kemudian pesawat model amfibi juga dibutuhkan untuk menjangkau pulau-pulau kecil yang memiliki banyak gunung sehingga hanya bisa dilalui jalur perairan," katanya.
Ia berharap jika pesawat perintis N219 sudah bisa dikomersilkan, komunikasi antarpulau di Indonesia dapat lebih lancar sehingga mendorong peningkatan perekonomian nasional.