REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyebut DPR tidak perlu terburu-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani sebelumnya menyatakan, DPR menargetkan RKUHP bisa disahkan pada akhir September.
"Kita inginnya tidak perlu dibahas secara cepat, tidak perlu buru-buru disahkan hanya untuk pergantian periode DPR ataupun pergantian periode pemerintahan," ujar Anggara usai mengikuti seminar "Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia" di Jakarta, Rabu (17/7).
Menurutnya, ia dan rekannya di aliansi mempersoalkan pergantian KUHP dengan mengubah isinya secara keseluruhan. Sehingga, yang dulunya KUHP terdiri dari tiga buku, kini hanya tersisa dua.
"Jika mengganti secara total justru banyak isi-isu penting yang tidak dibahas secara mendalam, itu yang kita sesalkan. Mereka membahas secara maraton kita apresiasi tapi masukan masyarakat sipil tidak terlalu di dengar," katanya.
Kebanyakan, lanjut Anggara, DPR dan pemerintah hanya mengotak-atik pasal-pasal yang sudah ada di dalam rancangan tanpa ada ketentuan pasal tersebut masih penting untuk dipertahankan atau seharusnya dihilangkan. "Mengganti baru (KUHP) itu menimbulkan banyak implikasi yang sebetulnya bisa jadi tidak diprediksi pemerintah dan DPR di masa depan. Seperti di UU ITE siapa yang tahu ternyata begitu banyak orang yang kena karena Undang-undang ITE," tegasnya.
Meski begitu, bukan berarti ia sebagai aliansi tidak lepas tangan begitu saja. Menurut Anggara, sarannya tidak begitu didengar oleh pemerintah.
"Kita tidak bisa terus memberikan forecasting (ramalan) kepada pemerintah, pemerintah bilang enggak karena kita kasih pagar (batasan UU)," tutup Anggara.