REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty Internasional hanya ingin memastikan pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan terungkap dan diadili ke ranah hukum. Aksi brutal berupa penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, adalah ancaman bagi siapa pun ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
“Kasus Novel ini seharusnya menjadi masalah bersama. Bukan hanya aktivis antikorupsi, dan HAM (hak asasi manusia), tetapi juga bagi para penegak hukum,” begitu kata staf Komunikasi Amnesty Internasional Indonesia, Haeril Halim dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Jumat (26/7).
Menurut Haeril, itu sebabnya, Amnesty mencoba semua lini advokasi dan pembelaan, demi terungkapnya pelaku penyerangan terhadap Novel. Menurut dia, bukan hanya dalam kasus penyerangan terhadap Novel.
Amnesty juga punya sejumlah catatan tentang pelanggaran serius, berupa intimidasi dan ancaman, penyerangan terhadap para penyidik di KPK, pun juga ancaman terhadap para aktivis antikorupsi, serta aparatur pemerintah, dalam proses penegakan hukum. Sayangnya, kata dia, hampir semua bentuk ancaman dan intimidasi tersebut, berujung pada sikap bungkam untuk memproses bentuk anarkistis tersebut ke ruang hukum.
Pada Kamis (25/7), Direktur Advokasi Amnesty Internasional untuk Asia Pasifik Francisco Bencosme melaporkan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan ke Kongres Amerika Serikat (AS). Pelaporan tersebut, menjadi aksi advokasi luar negeri pertama untuk mengungkap dalang dan pelaku penyerangan terhadap Novel. Amnesty menganggap, penyerangan terhadap Novel salah satu bentuk aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia dari sektor pemberantasan korupsi.
Amnesty menuding, bentuk pelanggaran HAM tersebut dengan kegagalan negara dalam mengungkap siapa dalang dan pelaku penyerangan terhadap Novel. Akan tetapi kegagalan tersebut, bukan lantaran ketidakmampuan atau karena tak adanya penegak hukum yang profesional dan independen. Namun menurut Amnesty, kegagalan tersebut itu lantaran sikap sengaja institusi penegak hukum, yang enggan mengungkap pelaku dan dalang aksi penyerangan.
“Bahwa kegagalan untuk menyelesaikan kasus Novel akan memperkuat kultur impunitas (meniadakan pidana bagi pelaku kejahatan) dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” kata Bencosme dalam rilis resmi Amnesty, Jumat (26/7).
Menurut Amnesty, jika dibiarkan, peniadaan pidana bagi pelaku kejahatan tersebut, akan berdampak buruk bagi usaha Indonesia untuk menjadi negara berlandaskan hukum. Indonesia pun gagal menjadi negara yang mampu memberikan rasa adil bagi warganya sendiri.
Haeril melanjutkan, ada tiga alasan mengapa Amnesty melaporkan kasus Novel ke Kongres AS. Pertama karena kasus penyerangan terhadap Novel erat kaitannya dengan pemberantasan korupsi yang menjadi musuh global. Kedua, serangan terhadap Novel merupakan ancaman terhadap upaya Indonesia melakukan menegakkan hukum dan HAM. Terakhir, demi memastikan pengusutan kasus penyerangan tersebut tuntas dan keberhasilan negara menyeret pelaku dan dalangnya ke pengadilan.
“Tentunya pelaporan kasus Novel di Kongres AS kemarin baru langkah awal,” ujar Haeril.
Amnesty, juga akan melakukan aksi serupa di sejumlah lembaga-lembaga pemantau hukum dan HAM di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), agar kasus Novel dan aksi kejahatan lain terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi perhatian internasional. “Harapannya minimal, internasional dapat memberikan dukungan terhadap Indonesia, dalam mengungkap kasus tersebut,” ujar Haeril.
Hasil TPF Kasus Novel Bentukan Kapolri