REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ia kondang dengan nama Guru Mughni. Lahir sekitar tahun 1860 di Kampung Kuningan, Jakarta, dan wafat dalam usia 70 tahun, ulama Betawi ini memiliki nama lengkap Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qays. Ia adalah anak bungsu dari pasangan H Sanusi dan Hj Da’iyah binti Jeran. Keluarganya merupakan keluarga yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Kondisi politik yang tidak kondusif karena tekanan pemerintah kolonial Belanda ditambah adanya intimidasi dan diskriminasi etnis serta status sosial menyebabkan Guru Mughni tidak bisa mengenyam pendidikan formal dengan baik. Kondisi tersebut juga dialami kebanyakan masyarakat Betawi waktu itu. Kondisi ini nyatanya tak menyurutkan semangat Guru Mughni untuk menimba ilmu agama.
Guru Mughni yang hidup pada 1860-1935 mengawali pengajiannya di kampungnya sendiri di Kuningan dari Guru H Jabir sampai usia remaja, sekitar 17 tahun. Demi memperdalam wawasan dan pengeta huannya, Guru Mughni kemudian menimba ilmu di Kota Suci Makkah selama sembilan tahun, kemudian pulang ke Tanah Air.
Belajar sembilan tahun di Makkah, nyatanya belum cukup buat Guru Mughni. Ia pun memutuskan untuk melakukan pengembaraan (rihlah ilmiah)-nya yang kedua ke Makkah dan bermukim di sana selama lima tahun sampai 1885. Pada pengembaraan yang kedua kali, ia bukan lagi sekadar belajar, melainkan juga ikut mengajar di pojok-pojok Masjidil Haram, Makkah.
Saat menuntut ilmu di Makkah, baik pada perjalanan pertama maupun kedua, Guru Mughni mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu Islam kepada beberapa syekh, salah satunya adalah Syekh Sa’id Al-Babasor, seorang mufti terkemuka di Makkah.
Setelah 14 tahun di Makkah, ia kembali ke Tanah Air. Dengan kapasitas ilmunya, orang datang berduyun-duyun untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Sejak itulah, ia dikenal dengan panggilan “Guru Mughni”.
Seperti dijelaskan dalam buku Sejarah Betawi yang ditulis Ridwan Saidi, Guru Mughni merupakan ulama Betawi generasi kelima bersama Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Madjid di Pekojan, Guru Mansur di Jembatan Lima, Guru Mahali di Kebayoran, Habib Utsman di Petamburan, dan Habib Ali di Kwitang. Di tangan mereka inilah penyebaran dan pengajaran agama Islam di Betawi berkembang pesat.
Sebagai seorang guru, tentulah ia mempunyai banyak murid. Di antara beberapa muridnya yang kemudian menjadi guru serta ulama kenamaan adalah Guru Abdurrahman dari Pondok Pinang, Guru Kasim dari Mester, Guru Mughni dari Lenteng Agung, Guru Ilyas dari Karet, Guru Raisin, Guru Hamim dan KH M Na’im dari Cipete, H Saidi dari Blok A, KH Abdullah Suhaimi dari Mampang, KH Ismail, KH Abdurrahim, Ma’mun dari Kuningan.
Menurut Dr Ahmad Lutfi Fathullah MA, direktur Pusat Kajian Hadis (PKH) Jakarta, Guru Mughni adalah salah satu ulama yang mempunyai kesadaran tinggi untuk mening katkan kecerdasan kaum Muslimin, walaupun ruang lingkup pergerakannya terbatas hanya di wilayah yang kini disebut Jakarta Selatan, khususnya Kuningan. Dalam hal ini, banyak mata pelajaran yang diberikan, seperti fikih, tauhid, tafsir, dan lainlain.
Untuk pelajaran fikih, misalnya, sambung Lutfi yang tak lain adalah cucu ulama Betawi ini, Guru Mughni memakai kitab Safinatun Najah untuk murid dan kitab Fathul Mu’in untuk tingkat guru. Untuk pelajaran tauhid, Guru Mughni menggunakan Kifayatul Awwam dan kitab Tafsir Jalalain untuk pelajaran tafsir. Untuk pelajaran hadis, Guru Mughni menggunakan kitab Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim. Sedangkan, kitab Minhajul Abidin digunakan untuk pelajaran akhlak dan untuk pelajaran tata bahasa Arab (nahwu) digunakan kitab Alfiyah.
Menurut penuturan para muridnya, sambung Lutfi yang dikenal sebagai pakar hadis di Indonesia, semua pelajaran disampaikan Guru Mughni dengan sangat fasih. Terjemahan dan uraiannya juga jelas sesuai dengan tingkat pengetahuan dan bahasa mu rid-muridnya. Contoh-contoh yang disertakan dalam uraiannya, selain penuh hikmah, juga sangat dekat de n gan kehidupan murid-muridnya sehingga mereka dengan mudah bisa menangkap pelajaran yang disampaikan.