REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga pengawas pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, Jamkes Watch yang dibentuk oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri, yang diusulkan pemerintah. Menurut Direktur Eksekutif Jamkes Watch, Iswan Abdullah langkah pemerintah yang berencana menaikkan iuran peserta mandiri tidak tepat dan memberatkan masyarakat.
"Langkah yang seharusnya dilakukan oleh BPJS Kesehatan adalah menaikkan jumlah peserta. Ketika jumlah peserta BPJS Kesehatan mengalami kenaikan, dengan sendirinya pemasukan BPJS akan bertambah," katanya dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (2/8).
Menurut Iswan, saat ini baru sekitar 14 juta pekerja formal yang menjadi peserta BPJS Kesehatan dari sekitar 54,1 juta pekerja. Jika seluruhnya bisa dijadikan peserta, maka dengan upah rata-rata nasional di Indonesia sebesar Rp 2.830.000, akan dihasilkan tambahan dana sebesar 91 triliun. Angka itu dinilai lebih dari cukup untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.
"BPJS Kesehatan jangan malas untuk turun ke lapangan guna memastikan seluruh pekerja dan rakyat Indonesia menjadi peserta jaminan kesehatan. Ini kan kesannya hanya menunggu bola," tegasnya.
Selain itu, Iswan juga mengkritisi langkah BPJS Kesehatan, menonaktifkan 5,2 juta peserta penerima bantuan iuran mulai sejak Kamis (1/8). Pencoretan itu sendiri dilakukan karena benerapa alasan. Misalnya, ada peserta yang NIK KTP-nya belum tercatat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan peserta lainnya yang dinonaktifkan adalah mereka yang sejak 2014 tidak pernah mengakses layanan kesehatan ke faskes yang telah ditentukan.
"Langkah untuk menonaktifkan 5,2 juta peserta PBI ini adalah pelanggaran serius terhadap hak rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Tidak masuk akal hanya gara-gara kartu BPJS nya tidak pernah digunakan lantas haknya untuk mendapatkan PBI dicabut," kata Iswan.
Iswan menyebut seharusnya pemerintah berterima kasih kepada peserta BPJS Kesehatan yang tidak pernah menggunakan kartu BPJS nya. "Bukannya malah dihukum dengan dinontaktifkan (PBI-nya)," lanjut Iswan.
Alasan NIK KTP yang tidak tercatat juga dinilai tidak relevan. Karena, sebelum keanggotaan suatu peserta dicabut, bisa dicek by name by address untuk memastikan keberadaan yang bersangkutan.
"Jangan sampai permasalahan administratif mengalahkan substansi," tegasnya.