REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, bebas pajak bagi pengetahuan (No Tax for Knowledge) untuk industri perusahaan media cetak merupakan insentif yang tepat apabila diberlakukan. Sebab, Indonesia masih membutuhkan dorongan untuk meningkatkan literasi masyarakat, termasuk melalui koran.
Yustinus meyakini, insentif bebas pajak bagi pengetahuan tidak akan merugikan pemerintah. Meskipun memang berpotensi mengurangi penerimaan negara, jumlahnya tidak signifikan.
"Toh, pendapatan dapat mencari sumber lain," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/8).
Yustinus mengakui, dirinya sudah sejak lama mendorong penerapan insentif bebas pajak bagi pengetahuan. Selain mendorong tingkat literasi masyarakat, insentif ini akan membantu kinerja industri media cetak yang sekarang memiliki beban berat.
Seperti insentif pajak pada umumnya, Yustinus menjelaskan, dampak dari ‘pengorbanan’ pemerintah ini memang tidak akan terlihat secara langsung dalam jangka waktu pendek. Tapi, ia meyakini, efeknya bersifat sustainable atau berkelanjutan.
"Kontribusinya lebih pada investasi untuk generasi mendatang," ujarnya.
Yustinus menjelaskan, banyak skema yang dapat dilakukan untuk implementasi insentif bebas pajak bagi pengetahuan ini. Salah satunya dengan langsung memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dipungut karena bersifat barang strategis.
Sebelumnya, Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat mendorong pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengimplementasikan bebas pajak bagi pengetahuan terhadap industri media cetak. Hal ini sebagai upaya penerbit media cetak mendapatkan keringanan terhadap pajak pembelian kertas dan penjualan produknya.
Sebagai satu-satunya asosiasi penerbit pers cetak di Indonesia yang beranggotakan 450 penerbit, SPS meyakini, pemberian insentif atas pembelian kertas koran dan penjualan media cetak tidak akan membuat pundi-pundi keuangan negara tergerus.
Sekretaris Jenderal SPS Pusat Asmono Wikan menekankan, insentif tersebut justru akan menciptakan keuntungan tidak berwujud atau intangible advantage. "Insentif ini akan mengundang minat baca masyarakat semakin tinggi terhadap media cetak. Pada gilirannya budaya membaca yang kuat akan berkontribusi terhadap pencerdasan bangsa," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa.
Namun, upaya SPS untuk mendorong pelaksanaan bebas pajak bagi pengetahuan tidak mudah. SPS gagal bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani guna membahas fasilitas ini.
Melalui surat tertanggal 7 Agustus 2019, Sri menyampaikan bahwa pihaknya belum dapat bertemu dengan SPS. "Kami dengan menyesal belum bisa memenuhi permohonan pengurus SPS Pusat untuk bertemu Menteri Keuangan," bunyi kutipan surat yang ditandatangani Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, tanpa ada penjelasan memadai.
Sebelumnya, pengurus SPS Pusat berkorespondensi dengan Sri guna mencari momentum mendiskusikan isu No Tax for Knowledge pada 9 Juli 2019. Upaya ini adalah tindak lanjut dari saran Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pengurus SPS Pusat beraudiensi di kantornya pada 18 Maret 2019.
Jauh sebelumnya, Pengurus SPS Pusat pernah bertemu dengan Sri pada 2008, ketika ia menjabat Menkeu di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Sri menolak usulan No Tax for Knowledge.
Asmono menyayangkan sikap Kemenkeu yang terlalu dini menutup dialog dengan SPS mengenai No Tax for Knowledge. Sebab, sebagai bagian dari media arus utama, kontribusi penerbit pers cetak terhadap informasi yang utuh juga sangat kuat. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah pun mengakui peran penting pers cetak dalam mendukung kampanye besar antihoax.
Konsep No Tax for Knowledge bukanlah hal baru. Di berbagai negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, dan bahkan India, insentif atas kertas koran juga diberlakukan. "Barangkali Menkeu tidak melihat pentingnya memberi keberpihakan pada industri yang tiap tahun menyumbang pajak ke Negara puluhan bahkan mungkin ratusan milyar. Itulah industri pers cetak di tanah air," ucap Asmono.