REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Lintar Satria
Menelusuri jalan sempit dan berliku, warga Kashmir wilayah India, Reyaz Ahmed, menjalani rutinitas di bawah jam malam yang diberlakukan pemerintah pusat di New Delhi. Pedagang 35 tahun itu bangun pukul 05.00 pagi dan bertemu dengan tetangganya di pusat Kota Srinagar.
Mereka berjalan beberapa kilometer untuk bertemu petani yang menjual sayuran segar dan susu. Dalam perjalanannya mereka juga singgah untuk membeli kebutuhan pokok dan obat-obatan dari penjual maupun toko obat yang menjual barang dagangannya di rumah mereka. Itulah hal yang paling penting dalam rutinitas ini.
Mereka sudah harus sampai di rumah pukul 06.00. Alasannya, tidak lama setelah fajar menyingsing, polisi dan pasukan paramiliter dengan seragam antihuru-hara serta dipersenjatai senapan otomatis akan mengambil alih jalan-jalan dan kota tua Srinagar tempat Ahmed dan tetangganya, Adil Bhat, tinggal.
Pasukan pemerintah mendirikan titik pemeriksaan. Mereka memasang barikade besi dan kawat baja di semua pintu masuk dan keluar pusat unjuk rasa dan bentrokan anti-India di Srinagar.
"Ketika siang maka ada yang menonton televisi, beberapa tidur dan menunggu sore sampai tentara menarik diri dari jalan," kata Ahmed, Jumat (9/8) lalu.
Ahmed mengatakan, pada Rabu lalu ia berjalan sekitar 7 kilometer untuk memeriksa kabar bibinya. "Sangat membuat frustrasi untuk berjalan dua kali lipat dari jarak tempuh demi menghindari barikade dan titik pemeriksaan," kata Ahmed.
Pengamanan yang sangat ketat ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejak 4 Agustus malam, semua jalur komunikasi Kashmir diputus.
Puluhan ribu polisi dan tentara menyebar ke seluruh penjuru wilayah perbatasan itu. Mereka memberlakukan jam malam, sementara pihak berwenang memutus saluran telepon dan layanan internet.
Krisis ini juga memicu ketegangan antara tentara India dan polisi Kashmir. Polisi Kashmir mengatakan, mereka masih tidak tahu rencana India.
Status Kashmir menjadi kunci perselisihan antara India dan Pakistan sejak kedua negara itu pecah usai masa penjajahan Inggris pada tahun 1947. Keduanya memiliki wilayah di Kashmir dan sudah bertempur dalam dua perang memperebutkan wilayah tersebut.
Tentara paramiliter India berpatroli saat jam malam di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Rabu (7/8).
Pembatasan gerak warga bukan sesuatu yang baru di Kashmir. Mereka terbiasa dengan pengekangan selama berbulan-bulan setelah ada pemberontakan terhadap Pemerintah India pada tahun 2008 dan 2016. Namun, sebelumnya jalur telepon rumah tidak pernah diputus.
Penutupan-penutupan terus dilakukan Pemerintah India. Karena itulah, warga Kashmir sudah tahu bagaimana cara untuk tetap selamat dari pemenjaraan dalam rumah. Warga juga terbiasa menimbun kebutuhan dasar, sebuah kemampuan yang diasah selama musim dingin yang sulit ketika jalanan dan komunikasi sering kali terputus.
Lebih dari 1 juta orang terkepung di Srinagar. Warga mengatakan, perlahan-lahan berbagai kesulitan mulai mereka alami. Mereka juga mulai kehabisan makanan dan kebutuhan dasar karena toko-toko ditutup dan pergerakan warga dibatasi.
Pasien menghadapi kelangkaan obat-obatan. Tidak ada uang di ATM dan bank-bank pun ikut ditutup.
"Berkali-kali seluruh penduduk dipenjara. Kami tidak akan memaafkan India atas hukuman kolektif yang keterlaluan ini," kata pengrajin kayu, Mohammed Akbar. Warga takut langkah dicabutnya otonomi Kashmir akan membuka gelombang masuknya warga Hindu ke permukiman mereka. Hal itu akan mengubah demografi Kashmir yang sampai saat ini masih menjadi satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India.
"Mereka (India) mungkin mengatakan ini untuk pembangunan dan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Namun, itu semua bohong. Ini adalah serangan terhadap identitas, budaya dan, sebuah rencana jangka panjang untuk mengubah demografi di sini," kata Akbar. n ap ed: yeyen rostiyani