REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Alasannya, MUI tidak melakukan judicial review sebelum undang-undang tersebut disahkan. “MUI tidak melakukan judicial review untuk UU JPH,” ungkap Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, saat dihubungi, Rabu (14/8).
Gugatan dilayangkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dari 31 Provinsi di Indonesia. Mereka mempermasalahkan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 47 ayat 2 UU JPH.
Sementara sebelumnya, Indonesia Halal Watch (IHW) pernah melayangkan uji materi (judicial review) PP No 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal terhadap UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Uji materi dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA), Kamis (23/5) lalu.
Ada lima alasan mengapa IHW melayangkan uji materi. Pertama, PP No 31 Tahun 2019 berpotensi membebani masyarakat, khususnya dunia usaha. Mandatory sertifikasi halal berpotensi membebani UKM. Oleh karenanya negara harus mensubsidi sertifikasi halal bagi UKM.
Kedua, PP No 31 tahun 2019 mereduksi atau mendelusi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai stakeholder. Menurut UU JPH, MUI merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk menetapkan kehalalan suatu produk.
Ketiga, adanya pertentangan antara Pasal 22 ayat (2) PP No 31 Tahun 2019 dengan Pasal 14 ayat (2) huruf f UU JPH. Keempat, pada pasal 25 PP No 31 Tahun 2019, menyebutkan kerja sama internasional tidak melibatkan MUI, kaitannya dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan lembaga asing. Kondisi ini berpotensi memudahkan masuknya produk impor.
Kelima, jiwa dari PP ini pada intinya mengambil kewenangan stakeholder yang lain dan bukan membangun semangat kerja sama, sehingga akan berdampak buruk bagi pertumbuhan produk halal dan industri halal di Indonesia.