Kamis 15 Aug 2019 12:05 WIB

Hamdan: Fungsi dan Mekanisme GBHN Harus Dipertimbangkan

Jika GBHN tak memiliki mekanisme pengawasan bisa menimbulkan masalah nantinya.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andi Nur Aminah
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva
Foto: Republika TV/Joko Sadewo
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ada di dalam rencana mengamendemen secara terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, harus dipertimbangkan fungsi dan mekanismenya. Menurut dia, jika GBHN tak memiliki mekanisme pengawasan dalam penegakkannya, dapat menimbulkan masalah nantinya.

"Tidak memiliki mekanisme pengawasan dalam penegakkannya akan jadi soal. Problemnya mengenai pengawasan ini adalah apakah MPR juga mengawasi implementasi GBHN," ujar Zoelva kepada Republika.co.id, Kamis (15/8).

Baca Juga

Ia menjelaskan, dulu GBHN memiliki kekuatan penuh untuk ditegakkan. Karena presiden adalah mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang harus melaksanakan GBHN.

Jika presiden tidak melaksanakan atau melanggar GBHN, presiden bisa dimintai pertanggungjawaban oleh MPR. Jika presiden terbukti melanggar, ia akan diberhentikan.

Namun, Zoelva menjelaskan, kalau sekarang sistem MPR seperti itu sudah tidak dikenal. "MPR tidak berwenang untuk memberhentikan presiden karena alasan melanggar haluan negara, tetap harus terbukti melakukan pelanggaran hukum tertentu," ujarnya.

Jika memberi wewenang kepada MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden, pada bagian lain harus diubah dengan memberi wewenang kepada MPR meminta pertanggungjawaban presiden. "Jika begitu perkembangannya, maka harus mengubah UUD secara mendasar, tidak bisa memgubah secara parsial," ujar Zoelva.

Apa GBHN benar-benar dibutuhkan?

Untuk diketahui, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pihak yang paling serius dalam menghidupkan kembali konsepsi negara lewat GBHN. Dengan adanya GBHN, haluan negara bisa memuat hal yang pokok, berupa prinsip-prinsip panduan, misalnya terkait politik pangan, energi, penguasaan teknologi, politik keuangan, politik pertahanan. Serta kepemimpinan Indonesia di dunia internasional.

PDIP meyakini amendemen terbatas itu diperlukan untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga mesti memiliki kewenangan menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

MPR pun telah merampungkan rumusan GBHN yang akan dihidupkan lagi, yang tertuang dalam "Pokok-Pokok Haluan Negara". GBHN versi baru antara lain berisi arah kebijakan pembangunan 2020-2045 dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum, pertahanan, serta keamanan

Ketua Umun Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mendukung dihidupkannya kembali GBHN. Menurut dia, pascapemilihan umum 2019, saatnya seluruh elemen bangsa untuk berpikir jangka panjang untuk negara.

"Kalau kekuatan partai bikin GBHN lagi, maka mari susun sungguh-sungguh untuk pembangunan 2021-2045. Masih sempat untuk disusun pada 2020. ICMI siap berpatisipasi," ujar Jimly.

Dengan adanya GBHN, dia mengatakan, arah tujuan pembangunan bangsa akan lebih fokus. Maka, diharapkan Indonesia tidak hanya diperhitungkan secara kuantitas, tapi juga kualitasnya.

"Sebelum itu (menghidupkan kembali GBHN), maka perlu amendemen Undang-Undang Dasar kelima. Dalam pasal itu dibunyikan MPR menetapkan GBHN atas usul presiden dan DPD," ujar Jimly.

Namun, Zoelva tak sependapat dengan alasan itu yang digunakan untuk menghidupkan kembali GBHN. Menurut dia, jika kebutuhannya seperti itu, cukup dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). "Bisa 25 tahun (RPJP), dan hal itu juga efektif asal semua konsekuen dengan RPJP itu," ujar Zoelva.

RPJP juga dapat menjadi alat untuk menyinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah. Sehingga, menurut dia, GBHN tidak dibutuhkan untuk saat ini.

"Menambah wewenang MPR membuat dan menetapkan GBHN tidak begitu penting. Apalagi dengan perubahan komposisi MPR setiap lima tahun, GBHN pun tidak tertutup untuk diubah, walaupun direncanakan berlaku 25 tahun," ujar Zoelva.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement