Ahad 18 Aug 2019 12:13 WIB

JK: Kalau Ada GBHN, Capres tak Bisa Buat Program Sendiri

JK mengatakan capres harus menyusun program yang sesuai dengan arah GBHN.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Wakil Presiden Jusuf Kalla
Foto: Republika/ Wihdan
Wakil Presiden Jusuf Kalla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla merespons wacana untuk kembali menghidupkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945. JK mengatakan keberadaan GBHN akan membuat calon presiden tidak bisa lagi membuat satu program sendiri yang berbeda dengan arah GBHN.

"Nah sekarang kalau ada GBHN, berarti calon presiden itu tidak lagi boleh membuat satu program, tidak boleh keluar dari GBHN kayak dulu, tetapi justru melaksanakan GBHN," ujar JK usai menghadiri peringatan Hari Konstitusi di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Ahad (18/8).

Baca Juga

JK menerangkan jika GBHN dikembalikan maka siapa pun pemerintahan terpilih wajib mengikuti program searah dengan haluan negara yang ditetapkan MPR tersebut. Sementara sekarang ini, JK mengatakan, pemerintah dapat memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang merupakan pengganti GBHN berdasarkan amandemen UUD 1945.

"GBHN baek, tetapi ini yang sekarang yang menjadi RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) adalah janji atau kampanye dari Presiden," ujar JK.

JK meneragkan, perbedaan mendasar antara GBHN dan RPJMN adalah penyusunnya. Ia menyebutkan GBHN dibentuk oleh MPR, sementara RPJMN dibuat oleh Pemerintah.

Kendati demikian, JK mengembalikan hal tersebut kepada MPR untuk pembahasan. "Jadi nanti dibahas lagi di MPR," kata JK.

Sebelumnya, JK berharap wacana GBHN tersebut tidak sampai mengubah sistem ketatanegaraan. "Kalau hanya GBHN secara prinsip itu bagus, asal jangan mengubah seluruh sistem lagi. Karena (sistem yang ada saat ini) itu juga hasil MPR baru 15-16 tahun itu," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (13/8).

Untuk itu, JK menilai yang perlu diantisipasi justru efek dari menghidupkan GBHN, khususnya kewenangan lembaga MPR apakah menjadi negara tertinggi. "Cuma memang efeknya yang harus dikaji ulang. Apakah itu membuat MPR menjadi lembaga tertinggi lagi? Tentu ini akan dikaji DPR, karena MPR itu membawahi DPR lagi," ujar JK.

Karena saat ini, menurut JK, sistem ketatanegaraan menempatkan kedudukan eksekutif presiden, legislatif baik DPR/MPR dan lembaga yudikatif seperti MA, dan MK sejajar. JK berharap amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan GBHN tidak menyebabkan masalah.

"Yang memang harus dikaji bagaimana ini tidak menyebabkan masalah masalah yang perubahan struktur kenegaraan yang lebih, termasuk amandemen, bagaimana membatasi, itu jadi masalah," kata JK. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement