Selasa 20 Aug 2019 00:30 WIB

Penambangan Ilegal Marak, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas

Keberadaan tambang ilegal membuat komunitas tambang yang legal menjadi susah

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, Ahad (15/11).   (Antara/Jimmy Ayal)
Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, Ahad (15/11). (Antara/Jimmy Ayal)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivitas pertambangan masih mendapat stigma negatif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan stigma negatif dari aktivitas pertambangan kerap disebabkan oleh aktivitas pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin (Peti).

"Tambang ilegal membuat komunitas tambang yang legal menjadi susah, warga membully tambang padahal itu legal," ujar Budi dalam diskusi media bertajuk "Mencari Solusi Penertiban Tambang Ilegal" di Hotel Ambhara, Jakarta, Senin (19/8).

Baca Juga

Budi menilai pemerintah pusat perlu melakukan intervensi lebih dalam mengatasi persoalan Peti yang banyak berada di daerah-daerah. Budi meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan koordinasi dan pemahaman yang sama dalam mengatur aktivitas pertambangan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan secara geologi, wilayah Indonesia yang berada di jalur gunung api mengakibatkan besarnya kandungan potensi sumber daya mineral, termasuk batu bara. Hal ini yang membuat banyak masyarakat melakukan aktivitas Peti.

"Pertambangan ilegal bisa muncul karena memang ada permintaan yang tinggi," ujar Rizal.

Selain itu, Rizal menyebut kurangnya tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat juga menjadi penyebab lain mengapa aktivitas Peti begitu tinggi di Indonesia. Rizal mengambil contoh saat berkunjung ke Taiwan. Masyarakat di sana enggan mengambil satu batu pun yang ada di sungai lantaran takut terjerat hukum.

"Kesadaran hukum sangat diperlukan. Bagaimana memasyarakatkan kesadaran hukum dan tentunya diikuti dengan pengen hukum," lanjut Rizal.

Berbeda dengan aktivitas pertambangan yang dilalukan perusahaan, lanjut Rizal, masyarakat yang melakukan pertambangan ilegal sejatinya tidak mengetahui dengan pasti keberadaan sumber daya mineral, melainkan hanya memperkirakan berdasarkan alasan yang terkadang tidak jelas.

"Di pertambangan siklusnya tidak mudah melakukan. Usaha penambangan dimulai dari eksplorasi atau mencari di mana ada emas, batu bara. Sedangkan bagi penambang ilegal mereka hanya perkirakan saja," kata Rizal.

Jika sudah begitu, lanjut Rizal, faktor lingkungan akan sangat rentan tercemar lantaran penggunaan Sianida atau Merkuri yang digunakan para petambang emas skala kecil (PESK). Belum lagi aspek keselamatan yang juga kerap diabaikan oleh para PESK dalam aktivitas Peti.

"Undang-undang kita sudah memberikan kesempatan bagi pertambangan rakyat, namun perlu digarisbawahi itu bukan Peti. Pertambangan rakyat itu ada izin dan ada wilayah. Pemerintah juga akan membina sehingga meminimalisir dampak kecelakaan atau kerusakan lingkungan," ucap Rizal.

Kepala Bidang Infrastruktur Mineral dan Batu bara Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman John Tambun tidak menampik jika potensi pertambangan sangat besar. Namun, John mengingatkan dampak negatif yang ditimbulkan juga tidak kecil apabila pengelolaannya tidak sesuai dengan ketentuan.

"Rizal tadi sebutkan potensi emas dari APRI (Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia) lebih besar dari Freeport, tapi Freporit itu menghasilkan emas dan pengelolaan dilakukan sendiri. Betul (APRI) potensinya besar tapi dampaknya juga sangat besar," kata John.

John menyampaikan, Kemenko Maritim bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait pernah membentuk satuan tugas (satgas) untuk koordinasi penanganan PESK, sesuai arahan presiden saat rapat terbatas pada 2017. Untuk pertambangan rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan inventarisasi Peti yang ada di wilayah kehutanan.

Pun dengan patroli pelarangan penggunaan merkuri, di mana pada 2017, Kemenko Maritim bersama KLHK dan Polri menyita sekitar 36 ton merkuri dari 117 kasus yang ada di 20 kepolisian daerah (polda) di Indonesia.

"Sekarang merkuri ada di Bukalapak. Dulu (merkuri) masih bebas, sekarang sudah menjadi barang haram seperti narkoba," ucap John.

Persoalan lain, lanjut John, kepolisian acapkali kebingungan setelah mengamankan puluhan ton merkuri terkait tempat penyimpanan. Akhirnya, seluruh merkuri yang diamankan saat ini akan ditaruh di gudang milik KLHK yang ada di Bogor.

Pun dengan pertambangan batu bara, di mana menurut John masyarakat masih suka salah kaprah. John menyebutkan pertambangan rakyat tidak diperkenankan menggunakan alat-alat berat seperti ekskavator. John menyampaikan pengawasan terhadap aktivitas PESK akan terus dilakukan pemerintah. Selain mencegah dampak kerusakan lingkungan juga melindungi kebocoran pendapatan negara.

"Seminggu lalu, Deputi kami, Ridwan Jamaluddin ke Bangka dan lihat kasus 18 ribu ton Zirkon yang akan dikirim (ke luar negeri)," lanjut John.

John menilai hal semacam ini perlu menjadi perhatian, tak hanya pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah. Pasalnya, sumber daya mineral yang dilakukan secara ilegal berpotensi menghilangkan sumber pendapatan negara dan daerah jika tidak diantisipasi.

Kepala Seksi Perlindungan Lingkungan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Tias Nurcahyani, mengatakan, Kementrian ESDM selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait aktivitas Peti. Menurutnya, aktivitas Peti apabila tidak diantisipasi dapat mengganggu mata pencaharian masyarakat lantaran terjadi kerusakan lingkungan.

"Yang paling terdampak terutama pada sektor perikanan dan pertanian," kata Tias.

Selain itu, lanjut Tias, aktivitas Peti juga memiliki potensi terjadinya konflik sosial antara masyarakat setempat dengan penambang yang melakukan aktivitas Peti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement