REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di bawah naungan Islam, harkat pe rempuan dihormati dan di ting gikan. Perempuan diberi keleluasaan ber kiprah tanpa melupakan kodratnya. Hal ini mendorong bermuncul annya tokoh-tokoh Muslimah yang andil menegakkan Islam. Mereka ber ilmu, berakhlak mulia, taat ber ibadah, fasih membaca Alquran, bah kan turun ke medan perang mem bantu perjuangan kaum Muslimin.
Di medan perang, para mujahidah sebagai tim kesehatan yang bertugas mengobati para pejuang yang terluka. Ada juga yang bekerja di dapur menyediakan makanan, memberi minum para pejuang. Dan, ternyata peran pejuang Muslimah ini tidak hanya di balik layar. Beberapa mujahidah angkat senjata dan berani melawan para musuh.
Seperti perang yang dipimpin Khalid bin Walid melawan pasukan Romawi. Tiba-tiba muncul seorang pejuang menunggang kuda ke te ngah peperangan. Sosoknya sulit dikenali karena mengenakan pakai an jubah tertutup berwarna gelap. Dan, yang terlihat hanya garis ma ta nya yang tajam. Dari atas kuda, sosok pejuang itu dengan tangkas menyabetkan pedangnya ke arah mu suh. Sekali sabetan tiga tentara Romawi tewas di tangannya.
Kehadiran pejuang misterius ini membangkitkan semangat tentara Islam yang nyaris dipukul mundur Romawi. Satu per satu musuh ber hasil ditaklukkan Khaulah yang me ngenakan cadar. Di saat yang sama, mereka penasaran, siapakah sosok misterius tersebut? Khalid bin Walid yang memimpin tentara Islam pun tidak mengenalinya.
Untuk menjawab rasa penasar annya, di tengah medan perang ku da Khalid diikuti pejuang yang lain diarahkan mendekati posisi Khau lah. “Demi Allah yang telah melindungi seorang pejuang yang berani membela agama-Nya dan menentang kaum musyrik. Tolong buka wajah mu,’’ teriak Khalid. Khaulah belum mau menjawab pertanyaan pim pinan perang karena masih ba nyak musuh yang harus dihadapi nya.
Khalid mengejar, lalu mengulangi pertanyaannya. Khaulah pun menjawab, “Aku Khaulah binti Azur. Aku melihat kakakku, Dhirara tertangkap. Aku datang untuk menolongnya, membebaskan kakakku yang berperang di jalan Allah.’’ Para pejuang Islam terkejut mengetahui pejuang misterius itu seorang pe rempuan.
Kehadiran Khaulah di medan perang andil memenangkan perjuangan tentara Islam. Tapi, bagai mana nasib kakaknya karena sam pai akhir peperangan keberadannya belum diketahui. Teka-teki itu pun terjawab setelah Romawi mengajak damai. Dhirara ditawan di Homs karena telah membunuh anak raja dan banyak tentara Romawi.
Khaulah tidak mau tinggal diam. Ia memohon kepada pimpinan perang untuk bergabung membebas kan kakaknya. Khaulah pun kem bali berlaga di medan perang dengan jubah serba tertutup. Gema takbir dan keyakinan kuat pertolongan Allah berhasil menyelamat kan Dhirara.
‘Pedang Allah’
Jika gelar ‘Pedang Allah’ di ka langan pria disematkan untuk Khalid Ibnu Walid, di kubu perempuan julukan itu ditujukan pada Khaulah. Namanya tercatat sebagai mujahidah yang berani melawan mu suh-musuh Islam. Didukung fi sik nya yang mumpuni, tubuh Khau lah tinggi, tegap, dan sangat gesit. Keberanian Khaulah bukan tiba-tiba, melainkan sejak kecil sudah belajar berkuda, menombak, dan ber pe dang.
Sang kakak, Dhirara bin Azur, adalah tempat ia belajar seni ber perang. Dhirara yang juga pasukan tentara Islam sering kali menceritakan kepada adiknya bagaimana kemenangan Islam di setiap medan perang. Dari pengalaman kakaknya tersebut, keinginannya berperang semakin kuat.
Selain berani di medan perang, Khaulah dikenal memiliki strategi jitu menghadapi musuh. Ini terbukti saat ia bersama sejumlah Muslimah menjadi tawanan Perang Sahura. Ketika itu, Khaulah bergabung sebagai tim kesehatan dan logistik. Sial nya, para mujahidah ini ditang kap tentara Romawi. Mereka dikurung berhari-hari di bawah peng awalan ketat pasukan musuh.
Walaupun tanpa senjata di tangan, Khaulah memberontak. Ia menyusun strategi agar bisa menyelamatkan diri bersama teman-temannya. Langkah awal yang dilakukan Khaulah ialah memotivasi mereka agar mau bebas sebelum dilecehkan para tentara musuh. “Wahai para pejuang Allah, apakah kalian rela menjadi tukang pijit tentara Romawi? Apakah saudara semua mau menjadi hamba orang-orang ka fir yang nyata-nyata dilaknat Allah? Relakah saudara semua dihina, dilecehkan bangsa Romawi? Di mana harga diri kalian sebagai Muslimah?’’ papar Khaulah membang kitkan semangat para mujahidah.
Para mujahidah pun sepakat dengan apa yang dilontarkan Khaulah. “Demi Allah sebagai Muslimah, kami mempunyai harga diri. Tapi, apa yang bisa kita lakukan tanpa senjata, tentara siap menyerang ka lau kita memberi perlawanan,’’ ungkap seorang Muslimah yang mengibaratkan mereka kambing tanpa tanduk.
Khaulah tidak kehilangan akal. Walaupun bukan senjata sesungguhnya, Khaulah mengajak para mujahidah memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya, seperti tiangtiang dan tali kemah. Hal yang pen ting para mujahidin yakin pertolongan Allah pasti datang untuk melepaskan para pejuang Muslimah dari tentara Romawi. “Ingatlah syahid lebih baik bagi kita daripada dihinakan kaum kafir,’’ kata Khaulah.
Setelah menyusun strategi dan menentukan waktu yang tepat, Khaulah memimpin ‘pasukannya’. Sebelum bergerak Khaulah menga takan, “Wahai saudara-saudari, jangan sekali-kali gentar dan takut. Kita semua harus bersatu dalam perjuangan ini. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, ucapkan takbir!’’
Khaulah dibantu Ifra binti Ghaffar, Umi binti Utbah, Salmah binti Zari, Ran’ah binti Amalun, dan Sal mah binti Nu’man memukul peng awal dengan tiang hingga tewas. Satu tombak kini dalam genggaman Khaulah.
Sementara itu, mujahidah lain menyerang para pengawal yang berkeliaran di sekitar penjara. Rupanya mereka tidak siap mengha dapi serangan para mujahidah yang membuatnya lari tunggang langgang. Khaulah berhasil memimpin penyerangan dan membebaskan se mua tawanan.