REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, menilai, target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan penerimaan pajak 20 persen hingga akhir tahun sulit terealisasi. Rasa pesimis Darussalam disadari atas kombinasi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal yang disebut Darussalam adalah ketidakpastian ekonomi global. Secara tidak langsung, kondisi tersebut mengakibatkan pengurangan kinerja penerimaan dari industri pengolahan dan pertambangan.
"Serta, konsumsi pada umumnya," ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (26/8).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Juli 2019 adalah Rp 705,9 triliun, tumbuh 2,68 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Kinerja ini melambat dibandingkan tahun lalu yang mampu tumbuh 14,36 persen.
Selain faktor eksternal ekonomi, ada juga hal lain yang memberikan pengaruh. Pertama, Darussalam menambahkan, masalah belanja perpajakan yang diperkirakan semakin meningkat seiring dengan peningkatan upaya relaksasi kepada dunia usaha. Tujuannya, memperbaiki daya saing di tengah persaingan global.
Kedua, Darussalam menuturkan, data dan informasi perpajakan yang belum dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Tanpa adanya terobosan, kemungkinan besar realisasi penerimaan pajak berkisar di angka Rp 1.400 triliun hingga Rp 1.440 triliun. "Atau tumbuh hanya 6,5 persen sampai sembilan persen saja," ucapnya.
Apabila target pertumbuhan 20 persen tidak tercapai Darussalam menyebutkan, defisit anggaran dapat terus melebar. Penyebabnya, belanja tumbuh lebih besar, sedangkan penerimaan terus menurun. Dampak lainnya, tax ratio Indonesia akan terus stagnan sehingga kemampuan pembiayaan pembangunan terus terbatas.
Untuk meningkatkan penerimaan pajak, Darussalam menekankan, pemerintah harus fokus pada perluasan basis pajak dengan meningkatkan jumlah wajib pajak (WP). Khususnya kepada WP orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha.
Selain itu, Darussalam mengatakan, pemerintah juga harus menggenjot penerimaan dari berbagai sektor yang selama ini berpotensi memberikan kontribusi besar kepada Produk Domestik Bruto (PDB).
Tidak kalah penting, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan belanja perpajakan yang terus meningkat. "Pemberiannya harus lebih selektif dan terukur," tutur Darussalam.
Direktur Jenderal Perpajakan Kemenkeu Robert Pakpahan menuturkan, salah satu pajak yang menjadi perhatian adalah Pajak Penghasilan (PPh) migas. Pajak jenis ini mengalami kontraksi 1,8 persen hingga Juli 2019, kontras dengan kondisi dalam periode yang sama pada tahun lalu yang tumbuh 14,2 persen.
Robert menuturkan, perlambatan tersebut dikarenakan moderasi harga komoditas yang menurun di pasar global. "Ini menjadi tantangan utama penerimaan pajak di periode Januari hingga Juli ini," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Senin (26/8).