REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana untuk meluncurkan program untuk melindungi basis data dan sistem pendaftaran pemilih menjelang pemilihan presiden pada 2020 mendatang. Program tersebut diperkirakan untuk dilincurkan dalam satu bulan ke depan.
Menurut laporan, para pejabat dari badan intelijen AS khawatir bahwa akan adanya peretas asing pada 2020 yang tak hanya menargetkan basis data, tetapi juga memanipulasi. Selain itu, peretas dikhawatirkan dapat menganggu serta menghancurkan data.
“Kami menilai sistem ini sebagai risiko yang tinggi,” ujar seorang pejabat senior AS yang tidak disebutkan namanya dilansir Ejinsight, Selasa (27/8).
Cybersecurity Infrastructure Security Agency (CISA), sebuah divisi dari Badan Keamanan Dalam Negeri AS mengaku khawatir bahwa basis data dapat ditargetkan oleh ransomware, virus yang melumpuhkan jaringan komputer di banyak kota di Negeri Paman Sam. Beberapa waktu terakhir, serangan ransomware terjadi di Texas, Baltimore, dan Atlanta.
“Apa yang terjadi menunjukkan pemerintah negara bagian, hingga daerah-daerah lainnya, serta mereka yang mendukungnya adalah target serangan ransomware,” ujar direktur CISA, Christopher Krebs.
Serangan ransomware biasanya membuat sistem komputer yang terinfeksi terkunci, hingga pembayaran yang diminta dalam bentuk cryptocurrency dikirim ke peretas. Program CISA akan menjangkau para pejabat pemilihan negara bagian untuk persiapan dalam menghadapi serangan ransomware dan sejenisnya.
Program tersebut akan memberikan materi pendidikan, pengujian penetrasi komputer jarak jauh, dan pemindaian kerentanan serta daftar rekomendasi tentang cara mencegah dan memulihkan dari ransomware. Namun, program itu tidak menawarkan saran apakah harus membayar atau menolak untuk membayar uang tebusan kepada peretas, jika salah satu sistemnya sudah terinfeksi.
“Kami tidak ingin bahwa situasi tersebut harus terjadi dan kami fokus mencegah hal itu terjadi,” kata FBI dalam sebuah pernyataan.