REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sedang menyiapkan aturan tentang hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Hal itu disampaikan Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos) Kanya Eka Santi.
Rancangan peraturan pemerintah (PP) itu tidak hanya mengatur lebih detail pelaksanaan hukuman kebiri, tetapi juga menekankan pada predator seksual yang berkali-kali melakukan perbuatan keji tersebut. Pertimbangan terkait dampak yang dialami korban dan pengumuman identitas pelaku juga akan disertakan.
"Kami di kementerian lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat, seperti Kejaksaan Agung, KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Kementerian Kesehatan, dan lainnya," kata Kanya di Jakarta, Selasa (27/8).
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah menjatuhkan hukuman kebiri kimia atas Muhammad Aris. Pemuda berusia 21 tahun itu divonis bersalah karena terbukti mencabuli sembilan orang anak-anak.
Pihak Kemensos memandang penerapan hukuman kebiri kimia merupakan salah satu upaya negara dalam melindungi anak-anak dari predator seksual. "Ini pesan yang sangat kuat, betapa komitmen pemerintah sangat kuat untuk melindungi anak-anak, terutama dari predator yang berulang," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto kepada Antara, di Jakarta, Selasa.
Edi menjelaskan, kebiri kimia tidak serta-merta diterapkan begitu pelaku mengakui perbuatannya. Pemberatan hukuman ini merupakan langkah akhir yang tegas ketika pelaku terbukti melakukannya berulang kali. Majelis hakim PN Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia menerapkan pemberatan hukuman dengan kebiri kimia. Namun, sampai saat ini pelaksanaan hukuman itu belum dilakukan.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menolak bila dokter ditunjuk menjadi eksekutor kebiri kimia. Pihaknya beralasan bahwa kebiri kimia terhadap predator seksual, sebagai mana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2016, bukanlah suatu pelayanan medis melainkan hukuman.
Dia menyebut, organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Undang-Undang Kesehatan telah melarang dokter melakukan eksekusi. "Kami sudah diwanti-wanti dan di semua negara sudah menetapkan tenaga medis tidak boleh bersentuhan dengan masalah eksekusi karena akan melanggar konflik norma," kata Faqih saat dihubungi Republika, Selasa.
Dia menegaskan, sikap IDI sudah jelas sejak Perppu Nomor 1 Tahun 2016 disahkan menja di undang-undang sekitar tiga tahun lalu. "Saat itu kami mempersilakan kalau mau ada hukuman kebiri kimia, apalagi sudah jadi hukum positif. Tetapi, kami meminta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor," kata dia.
Pemerintah dipersilakan menujuk eksekutor di luar tenaga medis. Menurut dia, eksekusi hukuman kebiri kimia tidak begitu sulit. Selain melalui suntikan, eksekutor dapat menyuruh terhukum agar meminum cairan yang mengandung zat pelemah syahwat.
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) mengaku pesimistis dapat menyediakan fasilitas kebiri kimia bila IDI selaku organisasi profesi tidak mau menjadi eksekutor.
"Sebenarnya buat RS itu tidak terlalu sulit. Yang penting, organisasi profesi yang berisi dokter-dokter seperti IDI mau atau tidak?Kalau IDI tidak mau maka kami berpotensi tidak menyiapkan fasilitas kebiri kimia," kata Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto saat dihubungi Republika, Selasa.
"Masa kami melakukan itu (eksekusi kebiri kimia-Red) sendiri. Kan tidak etis. Jadi, harus sejalan," ujar dia menambahkan.
Logo Ikatan Dokter Indonesia (ilustrasi)
Bukan solusi
Terpisah, Amnesty Internasional In donesia (AII) menilai penerapan hukuman kebiri kimia bagi terpidana kejahatan seksual tak bermartabat. Menurut Direktur AII Usman Hamid, hukuman kebiri kimia bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional tentang penghapusan pidana penyiksaan.
"Hukuman kebiri melanggar Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)," kata dia dalam keterangan yang diterima Republika, Selasa.
Dia menyebut, seluruh elemen masya rakat sepakat dengan jargon "perang" terhadap kejahatan seksual. Namun, dia melanjutkan, hukuman kebiri bukan solusi penghukuman. Pihaknya menyarankan agar pelaku dijatuhi hukuman penjara dalam jangka waktu yang lama. Masa pidana dapat disertai program-program yang bertujuan menginsafkan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
Sementara itu, kuasa hukum Muhammad Aris, Handoyo, mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kliennya yang divonis menjalani hukuman kebiri kimia terkait kasus pemerko saan kepada anak-anak di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
"Hari ini saya menandatangani surat kuasa hukumnya dan besok kami me ngajukan peninjauan kembali kasus ter sebut," kata Handoyo saat dikonfirmasi Antara, di Mojokerto, Selasa (27/8).Dia menjelaskan, PK itu diajukan karena belum adanya petunjuk teknis terkait dengan pelaksanaan hukuman ke biri. "Kalau hukuman mati kan sudah ada petunjuk teknis nya. Nah, kalau kebiri ini kan masih belum ada," ujar dia.
Sebelumnya, Muhammad Aris saat dikonfirmasi sejumlah media mengatakan, dirinya lebih memilih hukuman seumur hidup daripada dikebiri secara kimia. "Nggeh kulo tolak (ya saya tolak)," kata Aris dengan logat Jawa.
Untuk diketahui, putusan PN Mojokerto yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia atas Muhammad Aris telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya. Warga Desa Sooko, Mojokerto, itu juga dijatuhi hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Persidangan atas pria ini menggunakan Pasal 76 D junctoPasal 81 Ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur sedang mengoordinasikan petunjuk teknis (juknis) eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris. Hal ini menyusul putusan banding dari Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). (rr laeny sulistyawati/bambang noroyono/antara ed: hasanul rizqa)