Kamis 29 Aug 2019 15:53 WIB

Boris Johnson Minta Ratu Skors Parlemen

Boris Johnson ingin mencegah Brexit dengan skenario tanpa kesepakatan.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson saat berpidato di Manchester, Inggris, Sabtu (27/7).
Foto: AP Photo/Rui Vieira
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson saat berpidato di Manchester, Inggris, Sabtu (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah meminta Ratu Elizabeth II menangguhkan atau menskors parlemen, Rabu (28/8). Hal itu dia lakukan untuk mencegah Inggris keluar dari Uni Eropa (UE), yaitu British Exit (Brexit), tanpa kesepakatan atau skenario no deal.

Dalam surat yang ditulisnya kepada parlemen, Johnson memaparkan rencananya. "Akan ada program legislatif Brexit yang signifikan untuk dilalui, tetapi itu seharusnya tak ada alasan untuk kurangnya ambisi," kata dia, seperti dilaporkan BBC.

Johnson meminta parlemen menunjukkan persatuan dan ketetapan hati menjelang 31 Oktober, yakni batas waktu Inggris hengkang dari UE. Dengan demikian, pemerintah memiliki peluang untuk mengamankan kesepakatan baru dengan UE.

"Sementara itu, pemerintah akan mengambil pendekatan yang bertanggung jawab untuk melanjutkan persiapannya meninggalkan UE, dengan atau tanpa kesepakatan," ujar Johnson.

Ada sejumlah skenario untuk proses Brexit. Pilihan tersebut adalah no deal, referendum ulang, atau negosiasi ulang dengan UE. Namun, negosiasi ulang nyaris tidak mungkin karena UE menganggap negosiasi telah usai dan paket kesepakatan Brexit telah disetujui. UE bahkan lebih mendorong agar Inggris membatalkan keluar dari UE.

Johnson menyangkal bahwa penangguhan parlemen dimotivasi agar Brexit berjalan dengan skenario no deal. Menurut dia, masih akan ada cukup waktu bagi anggota parlemen untuk memperdebatkan kepergian Inggris dari UE.

"Kita membutuhkan undang-undang baru. Kita harus mengajukan rancangan undang-undang baru serta penting dan itulah mengapa kita akan memiliki Queen's Speech (Pidato Ratu)," katanya.

Johnson mengungkapkan, Queen's Speech akan berlangsung setelah ditangguhkan, yakni pada 14 Oktober. Parlemen biasanya ditangguhkan untuk periode singkat sebelum sesi baru dimulai. Hal itu dilakukan oleh ratu atas saran perdana menteri.

Ketika parlemen ditangguhkan, perdebatan dan pemungutan suara ditiadakan. Sebagian besar undang-undang yang masih digodok atau belum diratifikasi juga akan gugur.

Gagasan Johnson menskors parlemen memicu kontroversi. Banyak tokoh maupun politisi Inggris yang mengkritik serta mengecam langkahnya.

Ketua House of Commons John Bercow menilai penangguhan parlemen sebagai kemarahan konstitusional. "Sangat jelas bahwa tujuan (penangguhan parlemen) sekarang untuk menghentikan (anggota parlemen) berdebat Brexit dan melakukan tugasnya dalam membentuk arah untuk negara," ujarnya.

Dia menilai penangguhan parlemen merupakan pelanggaran terhadap proses demokrasi dan hak-hak anggota parlemen sebagai wakil rakyat terpilih. "Tentunya pada tahap awal dalam kepemimpinan ini, Perdana Menteri harus berusaha membangun dibandingkan merusak mandat demokrasinya dan tentu saja komitmennya terhadap demokrasi parlementer,\" kata Bercow.

Pemimpin Liberal Democrats Jo Swinson mengatakan, penangguhan parlemen merupakan tindakan berbahaya dan tak dapat diterima. "Menangguhkan parlemen akan menjadi tindakan pengecut dari Boris Johnson. Dia tahu orang-orang tidak akan memilih (Brexit) tanpa kesepakatan dan bahwa perwakilan terpilih tidak akan mengizinkannya. Dia berusaha untuk menahan suara mereka," ujarnya.

photo
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.

Pendukung senior Tory, Dominic Grieve, menyebut langkah Johnson sebagai tindakan keterlaluan. Dia berpendapat bahwa hal itu dapat mengarah pada mosi tidak percaya terhadap Johnson. "Pemerintahan ini akan turun," katanya.

Johnson memang membawa Inggris keluar dari UE dengan kesepakatan. Namun, dia enggan melewatkan tenggat pada 31 Oktober. Johnson bersedia Brexit tanpa kesepakatan daripada harus melewati batas waktu.

Posisi itu telah mendorong sejumlah anggota parlemen oposisi menghalangi kemungkinan Brexit tanpa kesepakatan. Mereka menilai hal itu dapat menjadi bencana ekonomi bagi Inggris. Pada Selasa lalu, mereka yang menentang Brexit tanpa kesepakatan menyatakan akan menggunakan proses parlementer untuk melakukannya.

Di bawah Brexit tanpa kesepakatan, tidak akan ada waktu untuk membawa kesepakatan perdagangan antara Inggris dan UE. Perdagangan pada awalnya harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Jika itu terjadi, tarif pajak atas impor akan berlaku untuk sebagian besar barang yang dikirim oleh perusahaan Inggris ke UE. Sejumlah perusahaan Inggris khawatir hal tersebut akan membuat produk mereka kurang kompetitif. n

kamran dikarma/reuters, ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement