REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas menilai, Pansel Capim KPK seharusnya mendatangi KPK untuk melihat rekam jejak nama-nama yang mencalonkan diri. Apalagi, mereka sudah diundang ke KPK.
Ia merasa, jika Pansel Capim KPK tidak datang, justru lengkapi bukti kredibilitas moral, independensi dan keberpihakan Pansel secara keseluruhan rontok. Itu menunjukkan pula kualitas putusan Pansel.
"Dengan demikian, secara moral, putusan yang dimiliki Pansel cacat moral, hasil dari proses seleksi ini," kata Busyro di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (30/8).
Artinya, lanjut Busyro, ketika hasil itu cacat moral, sudah memenuhi syarat bagi presiden menolak. Ia mengingatkan, presiden memiliki hak dan kewajiban moral tidak memaksakan diri apapun hasil Pansel.
Apalagi, sudah dikuatkan sikap Pansel yang tidak mau mendatangi KPK untuk mengoreksi secara detail atas undangan KPK. Sebab, ia menegaskan, ketika KPK sudah mengundang pasti ada data-data penting.
"Data itu tidak bisa ke luar ke publik karena bersifat confidential (rahasia, Red) kecuali diberikan kepada yang mempunyai kewenangan, jadi kalau Pansel tidak hadir semakin kuat indikator rontok secara moral," ujar Busyro.
Bagi Busyro, presiden sudah seharusnya menolak hasil-hasil yang dikeluarkan Pansel. Sebab, dihasilkan dari Pansel yang secara kualitas cacat moral, dengan kekurangan yang sangat signifikan.
Sehingga, lanjut Busyro, presiden tinggal mengulangi lagi proses yang ada. Ia menyarankan presiden mengeluarkan Perpres baru seleksi tahapan berikutnya dengan catatan Pansel diganti atau dievaluasi.
Selain itu, nama-nama yang sebelum ini dicoret Pansel memiliki hak untuk diseleksi kembali jika mereka mau. Terlebih, dari nama-nama yang dicoret, ia merasa, ada nama-nama yang integritasnya tinggi. "Karena kita ketahui nama-nama itu ada yang berintegritas, tidak diloloskan, berarti Pansel tidak fair Pansel, ada yang bermasalah, lolos 20," kata Busyro.
Busyro mengungkapkan, analisa aktivis-aktivis menunjukkan indikasi mirip operasi intelejen karena senyap dan tidak mau transparan. Ia merasa, berbahaya Indonesia jika indikasi-indikasi itu dibiarkan.
"Kalau untuk seleksi selevel pimpinan KPK, di mana KPK itu independen, prosesnya mirip intelejen, negara ini sudah dikuasai sistem yang dioperasikan oleh operasi intelejen, rusak negara ini," ujar Busyro.
Namun, Busyro mengaku tidak bisa menduga siapa dalangnya. Ia mengingatkan, yang namanya operasi intelejen tentu saja sulit diketahui pihak-pihak yang bermain. "Tapi, indikasinya, mirip," kata Busyro.