REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Musim kering menyebabkan belasan ribu hektare sawah di wilayah Kabupaten Cilacap mengalami kekeringan. Kepala Dinas Pertanian (Dintan) Cilacap Supriyanto menyebutkan, luas lahan sawah yang mengalami kekeringan mencapai 15 ribu hektare.
''Dari catatan kami, luas sawah yang ditanami saat ini ada sekitar 52 ribu hektare. Dengan demikian, lahan yang mengalami kekeringan mencapai sekitar sepertiganya,'' kata Supriyanto, Senin (2/9).
Meski demikian, dia menyebutkan, 15 ribu hektare sawah yang mengalami kekeringan tersebut, bukan berarti seluruhnya mengalami puso. Sawah yang dipastikan puso, hanya sekitar 1.400 hektare. ''Lainnya masih ada yang tetap bisa panen, meski pun pertumbuhan tanamannya tidak maksimal karena kekurangan air,'' katanya.
Lahan sawah yang mengalami puso, umumnya lahan sawah yang jauh dari saluran irigasi dan di sekitar lahan tersebut tidak ada aliran sungai yang bisa dimanfaatkan untuk memompa air. Sawah-wasah yang puso, kebanyakan berada di wilayah Kecamatan Patimuan, Kedungreja, Sidareja, Majenang, dan Kesugihan.
Dia menyebutkan, pihaknya sebenarnya juga sudah berupaya menfasilitasi masalah kekeringan di sektor pertanian tersebut dengan membuat sumur-sumur pantek. Namun dia menyatakan, kebanyakan areal sawah yang saat ini mengalami kekeringan, kondisi air tanahnya sudah mengalami intrusi.
''Hal inilah yang menyulitkan kami dan para petani, untuk mengatasi masalah kekeringan di wilayah tersebut. Kalau pun kami buatkan sumur pantek, air tanahnya sudah terintrusi air laut, sehingga untuk pertanian juga tidak baik,'' katanya.
Dia juga menyebutkan, tidak seluruh sawah yang mengikuti program asuransi usaha tani pertanian (AUTP). Dari ribuan hektare, padi yang puso tersebut, hanya 35 ha sawah yang memperoleh klaim asuransi. ''Kami masih terus menyadarkan petani agar ikut AUTP. Dengan demikian bila mengalami puso seperti sekarang, kerugian yang dialami petani masih bisa ditekan,'' katanya.
Dia mengakui, klaim asuransi AUTP yang diperoleh petani memang tidak terlalu besar, hanya sekitar Rp 6 juta per hektare. Dibanding dengan hasil panen bila tanaman tumbuh dengan baik, nilai klaim tersebut memang masih di bawahnya. ''Namun paling tidak, kerugiannya tidak terlalu besar bila dibanding tidak ikut AUTP. Apalagi premi yang harus dibayar juga tidak terlalu mahal, hanya sebesar Rp 140 ribu per hektare per musim tanam,'' katanya.