REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besaran premi bulanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk peserta mandiri kelas I dan kelas II diputuskan naik. Selain itu, tarif premi bulanan untuk penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung pemerintah juga dinaikkan.
Kesimpulan itu dicapai dalam rapat kerja gabungan tentang jaminan kesehatan nasional (JKN) di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (2/9). Dalam rapat tersebut, pihak DPR diwakili sejumlah anggota Komisi IX dan Komisi XI.
Dari pihak pemerintah, terdapat Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi Dulung. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dan perwakilan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan turut hadir.
Mardiasmo mengatakan, iuran kelas I dan kelas II mulai dinaikkan pada Januari 2020. Besaran kenaikan akan sesuai usulan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Iuran kelas I akan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan.
Iuran kelas II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan. Sementara itu, premi PBI yang ditanggung pemerintah akan naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per jiwa per bulan.
Kenaikan tarif akan diatur dalam peraturan presiden (perpres) yang direncanakan terbit sebelum akhir tahun ini. Mardiasmo mengatakan, kenaikan iuran PBI diterapkan sejak 1 Agustus 2019. Pemerintah akan mencairkan dana kenaikan iuran PBI kepada BPJS Kesehatan setelah perpres terbit.
Awalnya, dewan berkukuh menolak kenaikan tarif yang diusulkan pemerintah. Setelah lobi-lobi, kedua belah pihak menghasilkan sejumlah kesepakatan.
Di antaranya, premi BPJS Kesehatan tidak dinaikkan untuk peserta mandiri yang pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III. Dengan demikian, premi kelas III akan tetap Rp 25.500 per jiwa per bulan.
“Komisi IX dan Komisi XI DPR-RI menolak rencana pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk PBPU dan BP kelas III sampai pemerintah menyelesaikan data cleansing,” ucap Wakil Ketua Komisi XI Soepriyatno saat membacakan kesimpulan rapat, Senin.
Dia mengatakan, sampai saat ini banyak orang miskin yang seharusnya menjadi peserta PBI justru terdaftar sebagai peserta mandiri. Sebaliknya, banyak masyarakat mampu yang seharusnya menjadi peserta mandiri malah terdaftar sebagai PBI. “Kami takut orang yang seharusnya tidak terima bantuan, malah terima,” ujar dia.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terdapat 10.654.530 peserta JKN yang bermasalah. Status mereka belum jelas, apakah termasuk kategori mampu atau miskin. Pemerintah menjanjikan selekasnya menyelesaikan validasi data. “Akhir September sudah harus selesai,” kata Mardiasmo.
Hingga Agustus 2019, BPJS Kesehatan telah mengalami defisit sebesar Rp 14 triliun. Sampai dengan akhir tahun, jumlah defisit perusahaan diperkirakan bisa mencapai Rp 32,84 triliun. Tanpa kenaikan iuran, defisit BPJS Kesehatan diprediksi bisa menembus Rp 39,5 triliun pada 2020.
Pada 2021, angka kerugian bisa melonjak hingga Rp 50,1 triliun. Pada 2022, defisit BPJS Kesehatan bisa mencapai 58,6 triliun, kemudian menjadi Rp 67,3 triliun pada 2023, dan menjadi Rp 77,4 triliun pada 2024.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris (kiri) dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni (tengah) mengikuti rapat kerja gabungan Komisi IX dan Komisi XI di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Anggota Komisi XI Achmad Hatari mengatakan, pada lima tahun lalu, BPJS Kesehatan mengalami defisit sekitar Rp 5 triliun. Namun, pemerintah saat itu tidak menunjukkan solusi konkret. “Apakah pemerintah bisa menjamin kalau defisit ditutup dengan kenaikan iuran, lalu masalah selesai?” kata Hatari, Senin.
Anggota Komisi XI Refrizal mengatakan, dalam jangka pendek utang-utang perusahaan kepada setiap rumah sakit mesti selesai. Bila perlu, Komisi XI dapat membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelusuri akar masalah defisit BPJS Kesehatan.
“Kita mau pindahkan ibu kota pakai banyak uang. Kenapa kebutuhan untuk sehat tidak clear? seharusnya pemerintah gerah," ujar Refrizal.
Menurut Dirut BPJS Kesehatan, sekitar lima ribu perusahaan diketahui melakukan manipulasi data kepesertaan. Manipulasi itu dilakukan dengan cara tidak melaporkan jumlah karyawan yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Penyisiran data menjadi penting supaya BPJS Kesehatan tak dirugikan perusahaan-perusahaan yang nakal.
“Sebelumnya, ada 50 ribu badan usaha yang belum daftar pesertanya. Sekarang, paling ada lima ribu,” ujar Fachmi Idris, Senin.
BPJS Kesehatan juga akan menarik iuran dengan cara autodebit bagi peserta mandiri PBPU. Hal itu untuk menghindari perilaku lepas tanggung jawab. “Kita juga optimalkan kader di tingkat kecamatan untuk (menagih iuran) door to door,” kata Fachmi. n. Dedy Darmawan Nasution. Ed: hasanul rizqa