REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Masyarakat suku Baduy dikenal sangat teguh memegang adat istiadat, khususnya di perkampungan yang terletak di Gunung Baduy, Lebak, Banten.
Kendati demikian, masyarakat Baduy dinilai cukup baik dalam mempraktikkan toleransi beragama.
"Toleransi beragama di masyarakat Baduy cukup baik karena adat Sunda yang menjunjung istilah ka cai jadi seleuwi ka darat jadi salebak," ujar Direktur Mualaf Center Baznas (MCB), Salahuddin El Ayyubi kepada Republika.co.id Sabtu (7/9).
Peribahasa tersebut berarti "susah maupun senang harus dijalani bersama, pertemanan yang kuat". Menurut Salahuddin, masyarakat Baduy menganggap semua orang yang ada di lingkungan Baduy adalah keluarga tanpa membedakan agama dan keyakinan mereka.
"Semua dianggap keluarga selama mereka tidak melanggar aturan yaitu ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka," kata dia.
Toleransi beragama suku Baduy tersebut diceritakan Salahuddin berdasarkan pengalaman para dai atau ustaz asli suku Baduy.
Para ustaz itu difasilitasi Mualaf Center Baznas (MCB) untuk melakukan pembinaan terhadap suku Baduy yang menjadi mualaf.
Selama ini, MCB melakukan program pembinaan dan pemberdayaan kepada mualaf suku Baduy dengan fokus pada peningkatan pemahaman agama sekaligus upaya membangun kesejahteraan mualaf melalui kemandirian ekonomi.
"Pembinaan mualaf Suku Baduy adalah dengan cara memetakan pengetahuan mereka tentang Islam," kata Salahuddin.
Pasalnya, lanjut dia, mualaf suku Baduy masih ada yang belum bisa apa-apa bahkan bisa masuk kategori 'Islam KTP'.
Selain itu, ada juga mualaf yang belum mengetahui tentang syariat agama, sehingga dai MCB memberikan pelayanan dengan diadakan pengajian harian, pekanan, dan pengajian bulanan.
"Selain hal yang bersifat agama, dai MCB juga melakukan pendidikan baca tulis, belajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan keterampilan dalam bidang teknik Informatika untuk anak-anak dan remaja masyarakat Baduy," jelasnya.