REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekitar tahun 1786, Sultan Muhammad III - Sultan Maroko - telah menjalin kerja sama pemimpin Amerika Serikat (AS) yakni Jhon Adams (Presiden AS kedua) dan Thomas Jefferson (Presiden AS ketiga). Saat itu, Maroko tengah menghadapi agresi dari Spanyol dan Kerajaan Usmani Turki yang mulai mendekati wilayah Barat.
Kesultanan Maroko mampu mempertahankan posisinya, meski wilayah kekuasaannya semakin menyempit. Maroko pada era itu masih tercatat sebagai negeri yang relatif kaya-raya. Pada 1684 M, Prancis berhasil menaklukan dan menguasai Tangier - salah satu kota di Maroko. Di kota itulah Ibnu Battuta lahir dan mengawali ekspedisinya.
Maroko ternyata merupakan negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan AS pada 1777 M. Di awal Revolusi Amerika, kapal yang ditumpangi saudagar dari Amerika diserang perompak barbar ketika tengah berlayar di Samudera Atlantik. Ketika itu, utusan Amerika meminta bantuan kepada penguasa Eropa, namun ditolak.
Pada 20 Desember 1777, Sultan Maroko Muhammad III menyatakan, kapal saudagar dari Amerika itu berada di bawah perlindungan kesultanan. Atas jaminan itu, para saudagar dari Amerika itu lolos dan selamat dari serangan para perompak Barbar. Persahabatan bersejarah antara Maroko dan AS itu hingga kini masih tetap terjalin.
Konsulat AS di kota Tangier, Maroko, tercatat sebagai milik pertama Pemerintah AS di luar negeri. Kini bangunan konsulat AS pertama di dunia itu telah berubah menjadi Museum Kedutaan Amerika di Tangier.