Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveler
Ada Tughra alias kaligrafi stempel resmi Sultan Turki Utsmani di Masjid Agung, Solo. Adalah Sultan Abdul Hamid II (1876-1909) mengirimkan hadiah mihrab berukir lambang itu.
Pakubuwono X memasangnya dengan penuh ta’zim. Terbaca tulisan: Al Ghazi, Abdul Hamid Khan Ats Tsani ibn ‘Abdul Majid.
Tulisan itu saya baca dari IG Ust Salim Fillah beberapa waktu lalu. Alangkah terkejutnya, karena sebagai orang Solo, saya tidak tahu kalau ada Tughra yang terpasang di Masjid Agung, Solo.
Padahal beberapa hari terakhir Ramadhan lalu, setiap malam saya I’tikaf di masjid yang didirikan oleh Pakubuwono III tahun 1763 itu.
Saat menulis buku JOURNEY TO THE GREATEST OTTOMAN, saya hanya fokus meriset data relasi Utsmani dengan Aceh dan Istana Pagaruyung. Tidak terpikir untuk menelusuri jejaknya di daerah lain, apalagi Solo.
Setelah membaca postingan itu, saya baru menyadari mengapa tidak pernah melihat Tughra yang dimaksud. Karena posisi mihrab berada di ruang utama yang dijadikan tempat shalat laki-laki.
Di ruang utama itu terdapat empat saka guru dan dua belas saka rawa. Selain mihrab yang berhias Turghra, juga terdapat maksura, dan mimbar sebagai tempat khatib berkhutbah.
Untuk jamaah putri, ruang shalatnya ada di sebelah kiri yang disebut Pawestren. Posisinya bersebelahan dengan ruang utama. Walaupun kalau mau shalat di ruangan lainnya tidak dilarang.
Seperti bangunan kuno pada umumnya, langit-langit ruangan terasa tinggi. Sehingga udara sejuk, sekalipun tidak berpendingin udara.
Pendopo di bagian depan didesain terbuka tanpa sekat karena difungsikan sebagai area komunal. Tempat berkumpulnya masyarakat. Area tersebut disebut tratag rambat dalam bahasa Jawa. Di musim haji, dari tempat inilah para jamaah haji diberangkatkan.
Dari Gapura utama yang berbentuk paduraksa terlihat halaman yang luas. Terdapat Patogogan, yakni pendopo kecil yang difungsikan sebagai tempat gamelan kraton. Gamelan ini akan ditabuh sewaktu perayaan Sekaten, festival tradisional untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, terdapat istal dan garasi kereta untuk Sang Raja ketika shalat Jumat dan Gerebeg.
Menariknya, arsitektur minaret yang difungsikan sebagai tempat adzan terinspirasi dari Qutub Minar di Delhi, India yang terkenal itu. Minaret didirikan tahun 1928 oleh Sunan Pakubuwono XI.
Yang juga istimewa adalah adanya Istiwak, bagian dari jam matahari untuk menentukan waktu shalat.
Seluruh areal masjid ini menempati lahan seluas 19.180 meter persegi dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Pejabat kraton yang ditugaskan untuk memimpin bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom dan seorang Lurah Muadzin sebagai juru adzan.
Tak jauh dari area masjid, ada warung thengkleng legendaris Bu Edi. Kalau berkesempatan ke Masjid Agung, bolehlah mencicipi signature dish kota Solo ini.
Saya jadi penasaran, kalau ada jejak Utsmani di dalam Masjid Agung Solo, pastilah ada jejaknya yang lain di kota ini. Saya akan mencarinya sewaktu pulang nanti.