REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf di Indonesia memiliki potensi rupiah yang cukup fantastis yakni mencapai Rp 77 milliar. Ketua Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazhir Badan Wakaf Indonesia (BWI), Hendri Tanjung mengungkapkan, potensi ini berasal dari tanah wakaf yang sangat luas.
“Aset tanah wakaf kita di 2016 itu adalah 4.359 milliar meter persegi,” kata dia dalam acara ‘Diskusi Publik: Masa Depan Wakaf dalam RUU Pertanahan Tinjauan Hukum, Fiqih dan Kesejahteraan’ yang digelar di Jakarta Selatan, Rabu (11/9).
Persoalan tanah wakaf yang masih belum maksimal pengelolaannya. Sebab, 60 persen tanah masih dikuasai nazhir perorangan dan bukan nazhir lembaga. Ketidakmampuan nazhir perorangan dalam mengelola menjadi tidak terlihat manfaatnya, karena mereka hanya menjaga.
“Saya ke Sumatra Utara waktu itu, ada 47 hektare tanah wakaf di Medan, itu tanah wakaf dari tahun 1948, wakafnya sultan, diterima oleh ustaz. Ustaz ini belum mampu mengelola, sehingga hanya disewakan ke warga. Hasil sewa buat bayar panti, begitu terus sampai sekarang,” kata Hendri lagi.
Karena tanah wakaf, harga sewanya pun tidak berubah-ubah sejak dahulu kala dan menimbulkan masalah baru yakni klaim kepemilikan tanah oleh warga-warga yang menyewa itu. Mengetahui bahwa tanah itu tanah wakaf, akhirnya BWI mempertahankan bahwa itu tanah wakaf yang tidak boleh diklaim secara sembarangan.
”Ada juga masyarakat yang nggak mau pindah dari tanah wakaf, ada juga warga yang sudah mapan lalu mau beli tanah itu. Lalu ada juga yang belum bersertifikat wakaf dan masih nama orang per orang, padahal kalau kita makan tanah wakaf, itu haram. Pokoknya masih banyak persoalan,” ucap Hendri.
Menurut dia, perlu dibuat manajemen yang rapi dalam mengelola tanah wakaf baik itu oleh nazhir perorangan, atau nazhir lembaga. Jadi jika RUU Pertanahan ini disahkan, masih banyak aspek-aspek yang harus diperhatikan terkait tanah wakaf ini.
“Di Bandung ada kyai yang sudah memisahkan mana aset pribadi dan mana aset yayasan, tapi di daerah lain masih banyak yang belum dipisahkan, ini juga masih jadi persoalan. Semua ketimpangan-ketimpangan ini harus diperhatikan, apalagi menurut The Guardian pada 2017, Indonesia adalah negara dengan ketimpangan terbesar keempat di dunia,” ucap Hendri.