REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengharapkan dukungan pembiayaan dari sektor jasa keuangan agar proyeksi tambahan nilai ekspor produk kayu sebesar 1,68 miliar dolar AS agar bisa tercapai. Selain itu, deregulasi kebijakan juga perlu dilakukan guna merevitalisasi industri kayu.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan, ekspor produk kayu bisa diandalkan untuk menambal defisit neraca perdagangan berjalan. Apalagi, produk kayu dinilai memiliki kandungan lokal sebesar 100 persen.
“Untuk meningkatkan devisa ekspor kita bisa mengoptimalkan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dari jenis-jenis komersial yang belum dikenal pasar secara luas, tapi butuh deregulasi kebijakan,” kata Indroyono dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (12/9).
Ekspor produk kayu olahan Indonesia menunjukan tren peningkatan beberapa tahun belakangan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap, ekspor produk kayu olahan periode 2016-2018 berturut-turut adalah 9,26 miliar dolar AS, 10,94 miliar dolar AS, dan 12,17 miliar dolar AS. Meski demikian, analisis yang dilakukan APHI pada semester pertama 2019 menemukan tren penurunan nilai ekspor untuk sejumlah produk kayu seperti kayu pertukangan (woodworking) dan kayu lapis (plywood).
Menurut Indroyono, produk kayu yang masih potensial digenjot ekspornya adalah kayu gergajian berbasis kayu alam dari Papua dan Papua Barat. Selain itu ekspor kayu olahan berbasis kayu alam dengan perluasan penampang, ekspor plywood kayu alam, dan ekspor kayu olahan berbasis hutan tanaman.
Untuk itu, kata dia, diperlukan sejumlah deregulasi kebijakan. Di antaranya adalah untuk ekspor kayu gergajian dari Papua dan Papua Barat dari jenis selain merbau kerangka implementasi UU Otonomi Khusus Papua. Kebijakan perluasan penampang kayu olahan yang boleh diekspor juga diperlukan.
Deregulasi kebijakan lain yang juga diperlukan, sebut Indroyono, adalah revitalisasi industri pengolahan kayu dalam negeri yang dapat memanfaatkan limbah kayu berdiameter kecil dari hutan alam maupun hutan tanaman.
Selain itu diperlukan penguatan sektor hulu dan hilir kehutanan melalui insentif kemudahan pembangunan industri on-farm skala kecil untuk pengolahan hasil hutan tanaman. Indroyono menekankan perlunya dukungan dari sektor jasa keuangan untuk mendongkrak kinerja ekspor produk kayu. Dia menyatakan, APHI dalam waktu dekat akan menerbitkan Roadmap Pembangunan Hutan Produksi yang berisikan data dan informasi usaha sektor kehutanan.
"Kami berharap data dan informasi yang ada di dalamnya dapat dijadikan sebagai acuan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) l dan perbankan dalam penyaluran pembiayaan untuk usaha kehutanan,” katanya.
Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi (GKKT) OJK, Enrico Heryantoro menyatakan, ada fenomena pertumbuhan kredit untuk sektor kehutanan. Meski demikian, tidak ada proyek baru yang muncul. Enrico mengungkapkan, pembiayaan yang disalurkan ke sektor kehutanan per Juni 2019 sudah mencapai Rp 324 Miliar.
“Dari nilai tersebut 85 persen untuk modal kerja, tapi tidak terlihat munculnya proyek baru,” kata Enrico.
OJK melihat, kata dia, beberapa bank besar & BUMN selama ini mengandalkan pada debitur inti yang besar (korporasi). Pengamatan OJK juga melihat tidak ada upaya untuk mencari debitur baru.
Enrico menjelaskan bahwa GKKT- OJK merupakan unit kerja baru di OJK yang ditugasi untuk mencari terobosan-terobosan kebijakan yang diperlukan dalam kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan seperti saat ini, dengan adanya defisit neraca perdagangan.
“Kami ditugaskan dan mengupayakan untuk mendorong peningkatan ekspor dan upaya meningkatkan produktifitas untuk mengurangi substitusi impor," pungkasnya.