REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, ada kecenderungan pemerintah ingin menguatkan ekonomi dengan melemahkan KPK. Sebab, lembaga antirasuah dinilai terlalu sering melakukan penangkapan.
Agil menilai kecenderungan ini merujuk pada rancangan undang-undang yang disiapkan selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lima tahun ini. "Pemerintahan Jokowi sekarang memang ingin menggenjot ekonomi, penerimaan negara, investasi dan infrastruktur," ujar Agil dalam diskusi di Kantor KoDe Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
PSHK mencatat pemerintah merancang 189 rancangan undang-undang. Aturan yang terkait dengan ekonomi, penerimaan negara, investasi dan infrastruktur, yakni aturan yang menyoal ekonomi dan keuangan (30 RUU), aturan soal tata pemerintahan (24 RUU) dan aturan soal sumber daya alam atau SDA (17 RUU).
Jumlah keseluruhan aturan terkait ekonomi ini lebih banyak dibandingkan aturan terkait hukum, yakni 40 RUU. "Itu sekarang terlihat. Ekonomi kemudian digenjot, investasi masuk tetapi kemudian diri mereka (pemerintah) dibentengi dengan regulasi yang untungkan mereka. Dalam hal ini pemerintahan dan DPR, " kata Agil.
Agil pun menilai ada kecenderungan pemerintah ini menunjukkan logika terbalik soal investasi. "Bahwa kenapa investasi itu tidak masuk ke Indonesia, sebenarnya itu kan sebab korupsinya masih banyak," kata dia.
"Ketika Korupsi banyak kita gunakan KPK. Namun, bagi pemerintah bukan logika itu yang digunakan. Logika pemerintah adalah investasi tidak masuk sebab ada KPK nya yang akan nangkepin orang. Ini kan kemudian kpk harus dihabisi. Lalu logika ini sulit diterima oleh akal sehat kita," kata Agil.