REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan tidak ada motif politik sama sekali terkait dengan penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka, Rabu (18/9). Diketahui, KPK pada hari Rabu (18/9) mengumumkan Imam dan asisten pribadinya saat menjadi Menpora, yakni Miftahul Ulum sebagai tersangka dalam pengembangan perkara suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI pada tahun anggaran (TA) 2018.
"Itu tidak ada motif politik sama sekali. Kalau mau motif politik, mungkin diumumkan sejak masih ribut-ribut kemarin, tidak ada," ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK RI, Jakarta, Kamis (19/9).
Dalam kesempatan itu, Syarif juga mengklarifikasi soal pernyataan Imam yang baru mengetahui statusnya sebagai tersangka setelah jumpa pers oleh KPK, Rabu (18/9) sore. Sebelumnya, KPK telah memulai penyidikan untuk Imam dan Ulum sejak 28 Agustus 2019.
"Saya juga ingin mengklarifikasi dari pernyataan Menpora bahwa dia baru mengetahui kemarin. Saya pikir itu salah karena kami sudah kirimkan 'kan kalau kami menetapkan status tersangka seseorang itu ada kewajiban dari KPK untuk menyampaikan surat kepada beliau dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu lalu," ungkap Syarif.
Sebelumnya, Imam saat jumpa pers di rumah dinasnya di kompleks Kementerian Widya Chandra, Jakarta, Rabu (18/9) malam, mengharapkan kasus yang menjeratnya itu tidak bersifat politis. Selain itu, Imam menyatakan siap mengikuti proses hukum yang ada serta memberikan jawaban yang sebenar-benarnya agar kasusnya dapat terungkap.
Imam diduga menerima uang dengan total Rp 26,5 miliar. "Uang tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI ke Kemenpora pada TA 2018, penerimaan terkait dengan Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan IMR selaku Menpora," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/9).
Ia menyatakan bahwa uang tersebut diduga untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait. Adapun perinciannya, lanjut Alexander, dalam rentang 2014 hingga 2018, Menpora melalui Ulum diduga telah menerima uang sejumlah Rp 14,7 miliar.
"Selain penerimaan uang tersebut, dalam rentang waktu 2016 hingga 2018, IMR selaku Menpora diduga juga meminta uang sejumlah total Rp 11,8 miliar," kata Alexander.
Imam dan Ulum disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.