Jumat 20 Sep 2019 15:30 WIB

RUU Pesantren Dinilai Masih Perlu Kajian

Persis memandang RUU Pesantren tidak mendesak untuk disahkan pada bulan ini.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Santri
Santri

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren masih perlu dikaji lebih dalam lagi dan tidak mendesak untuk disahkan jadi UU. Sebelumnya sejumlah ormas Islam dan pesantren menyampaikan permohonan penundaan pengesahan RUU Pesantren ke DPR RI.

Advokat dan Konsultan Hukum Lembaga Bantuan Hukum PP Persis, Zamzam Aqbil Raziqin menyampaikan, Persis memandang RUU Pesantren tidak mendesak untuk disahkan pada bulan ini. Sebab pesantren Persis berdiri sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dan sampai sekarang tetap berdiri meski tanpa ada regulasi semacam UU Pesantren.

Baca Juga

"Jadi Persis memandang tidak ada urgensi RUU Pesantren disahkan di rapat paripurna beberapa hari mendatang atau di periode DPR yang yang sekarang," kata Zamzam kepada Republika, Kamis (19/9).

Dia menyampaikan alasannya menolak RUU Pesantren disahkan dalam waktu dekat. Setelah Persis melakukan kajian internal dan eksternal bersama ormas-ormas Islam lain terhadap RUU Pesantren. Ternyata hampir sama pendapatnya, yakni pesantren yang diakomodir dalam RUU Pesantren tidak mencakup pesantren Persis dan ormas Islam lain secara keseluruhan.

Jadi ada pesantren Persis yang masuk kriteria rukun pesantren dalam RUU Pesantren. Tapi ternyata banyak juga pesantren Persis yang tidak masuk kriteria rukun pesantren. Karena pesantren Persis lebih condong pada pesantren modern, sehingga tidak masuk dalam lima rukun pesantren dalam RUU Pesantren.

"Salah satu rukun pesantren, bahwa pesantren harus punya asrama atau kobong dan beberapa ratus santri yang menginap, nah pesantren Persis itu kebanyakan tidak memiliki asrama," ujarnya.

Zamzam menjelaskan, RUU Pesantren juga mengharuskan pesantren memiliki badan hukum. Sementara di Persis semua pesantren berada di bawah organisasi Persis, jadi badan hukumnya menggunakan badan hukum Persis. 

Dia khawatir kalau pesantren diharuskan berbadan hukum maka pesantren jadi lembaga masyarakat, bukan menjadi lembaga pendidikan. Dia menjelaskan, ormas Persis adalah lembaga masyarakat dan pesantren Persis adalah lembaga pendidikannya. 

Tapi Di RUU Pesantren antara pesantren dan ormas Islam disamakan dengan aturan pesantren harus berbadan hukum. Khawatir nanti akan menimbulkan persaingan antara pesantren dan ormasnya. 

"Sebetulnya masih banyak permasalahan lain (dalam RUU Pesantren) yang harus disesuaikan, kami tidak menolak (RUU Pesantren) tapi RUU Pesantren ini harus mengakomodir pesantren-pesantren lain sesuai dengan perkembangan," jelasnya.

Zamzam menegaskan, RUU Pesantren jangan hanya mengakomodir pesantren tradisional saja. Pesantren modern milik Persis, Muhammadiyah Al-Wasliyah dan ormas-ormas Islam lainnya juga harus bisa diakomodir.

Menurutnya, tanpa ada RUU Pesantren pun, pesantren yang berdiri sejak sebelum kemerdekaan Indonesia tetap bertahan hingga sekarang. Maka pembahasan RUU Pesantren dinilai tidak perlu terburu-buru karena tidak mendesak. Sebab RUU Pesantren masih sangat perlu dikaji lebih dalam karena belum mengakomodir pesantren-pesantren yang sudah berkembang.

"Kalau dulu betul lima rukun pesantren (ada kiai, santri, kitab kuning, asrama dan masjid), tapi sesuai perkembangan sekarang, banyak pesantren yang transformasi jadi pesantren modern, salah satunya pesantren-pesantren yang di bawahi ormas Persis," ujarnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement