Jumat 20 Sep 2019 14:25 WIB

ICJR: Ada 17 Isu Bermasalah di RKUHP

Sejumlah pasal masih menggunakan pasal Belanda.

Rep: Dian Erika Nugraheny / Red: Teguh Firmansyah
Tolak RKUHP. Peserta aksi dari Aliansi Reformasi KUHP Yogyakarta menggelar aksi di depan Gedung Agung, Yogyakarta, Senin (16/9/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Tolak RKUHP. Peserta aksi dari Aliansi Reformasi KUHP Yogyakarta menggelar aksi di depan Gedung Agung, Yogyakarta, Senin (16/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan, setidaknya ada 17 isu bermasalah di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal-pasal yang menegaskan isu-isu tersebut di RKUHP dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.  

Pemetaan 17 masalah ini menurut Maidina berdasarkan hasil penelusuran dalam draf RKUHP per 15 September lalu.

Baca Juga

"Kami masih memetakan dan masih banyak masalah, ada 17 isu bermasalah di RKUHP. Itu terkait banyak hal, misalnya yang terkait dengan perlindungan perempuan, kepastian hukum, demokrasi dan pasal penghinaan presiden, " tutur Maidina dalam diskusi di Kantor ICW,  Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9). 

Kemudian, ICJR juga mencatat adanya sejumlah pasal kontroversial seperti pasal penggelandangan, pasal tentang memberi minum orang yang sudah mabuk, maupun pasal unggas yang masuk ke pekarangan yang sudah diberi benih. Pasal-pasal ini menurut dia merupakan bunyi dari KUHP hasil warisan Belanda sebelumya.  

"Itu bunyi pasal Belanda masih ada,  hanya sedikit dimodifikasi di RKUHP dan dia dimasukan di RKUHP. Itu menggambarkan bahwa proses perumusan RKUHP tidak berbasis evaluasi. Seharusnya pemerintah evaluasi dulu pasal mana yang harus masuk RKUHP dan mana yang harusnya tidak, " ungkapnya.  

Dengan kata lain, Maidina menyebut perumus RKUHP gagal mengambil peran untuk mengevaluasi pasal yang sudah tidak relevan lagi. Dia mencontohkan, pasal penggelandangan sebenarnya selama ini telah diatur oleh pemerintah daerah dalam tataran administrasi mereka. 

"Itu sudah masuk perda, rehabilitasi, panti rehab itu tataran administrasi pemda, tapi perumus RKUHP gagal mengevaluasi ini dan masuklah rumusan itu di RKUHP tanpa ada evaluasi," ujar Maidina. 

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa gelombang penolakan pengesahan RKUHP masih berlangsung di masyarakat.  Saat ini petisi penolakan pengesahan RKUHP sudah ditandatangani oleh lebih dari 400 ribu orang.  

Lewat petisi dan pernyataan sikap, koalisi masyarakat tolak RKUHP meminta langkah nyata dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda pengesahan RKUHP pada rapat paripurna nanti. RKUHP yang bermasalah nantinya bisa berdampak menghambat kerja kerja pemerintah, menghambat target pembangunan, kesehatan, pendidikan juga akan berdampak.

"Kami minta Presiden mengambil sikap, ulangi lagi pembahasan RKUHP. Kami tidak menolak ada RKUHP, kami pun sangat mendukung ada upaya reformssi KUHP. Namun,  reformasi harus benar-benar mendukung ide reformasi, bukan kembali ke masa kolonial gitu," tambahnya.  

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement