REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Polisi Hong Kong diduga terlibat dalam melakukan tindakan kasar yang sistematis terhadap pengunjuk rasa dan penduduk di kota otonomi China tersebut dalam tiga bulan terakhir, sejak gelombang demonstrasi dimulai pada Juni lalu. Hal ini dilaporkan oleh Amnesty Internasional, Jumat (20/9).
Para peneliti dari Amnesty Internasional juga menemukan kepolisian Hong Kong melakukan banyak tindakan ceroboh, keras, dan tidak pandang bulu sejak aksi protes terjadi di berbagai wilayah di kota itu pada 12 Juni. Dalam sejumlah wawancara, orang-orang yang pernah ditangkap, serta pengacara mereka mengungkapkan polisi paling sering menggunakan kekerasan sebelum dan selama penangkapan.
Dalam beberapa kasus, para demonstran yang ditahan juga dipukuli dalam tahanan dan mendapat perlakuan buruk yang sama dengan penyiksaan. Nampaknya, hal itu dilakukan sebagai bentuk hukuman kepada mereka karena dinilai tidak patuh atau kooperatif terhadap aparat keamanan.
“Pasukan keamanan Hong Kong telah terlibat dalam menggunakan taktik yang sembrono dan melanggar hukum terhadap orang-orang selama aksi protes berlangsung,” ujar Direktur Amnesty Internasional untuk Asia Timur Nicholas Bequelin, dilansir VOA, Sabtu (21/9).
Bequelin mengatakan pelanggaran tersebut termasuk dalam tindakan penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan yang dilakukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang-orang yang ditahan. Bahkan, beberapa diantaranya dikatakan sebagai penyiksaan.
"Mengingat meluasnya pelanggaran yang kami temukan, maka jelas Kepolisian Hong Kong tidak lagi dalam posisi untuk menyelidiki dan mengakhiri penindasan yang meluas terhadap para demonstran," kata Bequelin.
Polisi antihuru-hara Hong Kong menahan seorang demonstran di Bandara Internasional Hong Kong, Selasa (13/8).
Penyelidikan atas tindakan polisi juga merupakan salah satu tuntutan utama para pengunjuk rasa beberapa waktu lalu, tepatnya sejak pekan ke-15 gelombang demonstrasi berlangsung. Pada awalnya, aksi protes di Hong Kong terjadi untuk menolak adanya Rancangan Undang-undang (RUU) yang memungkinkan warga di kota itu untuk diekstradisi ke China daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikendalikan pemerintah pusat negara itu.
Amnesty Internasional melakukan penyelidikan yang melibatkan lebih dari puluhan orang yang pernah ditangkap, pengacara mereka, dan menyimpulkan polisi Hong Kong menggunakan kekuatan yang berlebihan. Polisi juga secara acak menargetkan peserta aksi protes. Bahkan, mereka terlibat dalam penyiksaan dan bersikap merendahkan orang-orang yang ditahan.
Polisi Hong Kong juga diketahui menunda memberikan akses ke perawatan medis bagi mereka yang ditahan. Amnesty Internasional menemukan adanya pola penangkapan sewenang-wenang, termasuk kasus-kasus di mana penduduk dan orang-orang yang ada di dekatnya ditahan.
Amnesty Internasional membagi masalah ini dalam beberapa kategori, yakni kekuatan berlebihan selama penangkapan, penyiksaan dan perlakuan kejam dalam penahanan, keterlambatan akses ke perawatan kesehatan dan hak pengacara, dan penangkapan sewenang-wenang. Dalam salah satu laporan, terdapat contoh pengunjuk rasa yang ditangkap dan dipukuli dengan tongkat sekuat tenaga. Bahkan, ketika demonstran itu mengaku tidak melawan dalam bentuk apa pun.
Seorang pria juga harus dirawat di rumah sakit selama dua hari dengan tulang rusuk patah dan cedera lainnya karena tindakan aparat polisi Hong Kong. Para peneliti juga menemukan beberapa kasus di mana polisi menolak atau menunda akses ke pengacara dan perawatan medis bagi mereka yang ditangkap.
Dari 21 orang yang ditangkap yang diwawancarai oleh Amnesty, 18 orang dirawat di rumah sakit karena cedera atau sakit terkait penangkapan dan penahanan mereka. Peneliti menemukan beberapa orang yang ditangkap perawatan medis, meski mengalami luka-luka hingga berdarah atau mengeluh cedera.
Para pengunjuk rasa yang mengenakan masker gas bereaksi setelah polisi menembakkan gas air mata selama demonstrasi anti-pemerintah di Tsuen Wan, di Hong Kong, Cina, Ahad (25/8).
Seorang pria yang ditangkap dan diseret di trotoar, hingga kemudian ditahan di kantor polisi selama tujuh atau delapan jam, bahkan dilaporkan dilarang menyeka darahnya. Dia akhirnya mendapat perawatan lebih dari satu pekan di rumah sakit dengan banyak luka di wajah dan tubuhnya.
Seorang pria lain yang menjadi peserta aksi protes juga mengalami patah tulang di lengannya selama penangkapannya pada Agustus. Namun, polisi menolak membawanya ke rumah sakit selama lebih dari lima jam dan selama waktu itu, tangan pria tersebut diikat di belakang.
Beberapa orang yang ditangkap juga harus menunggu beberapa jam atau selama setengah hari untuk dapat berbicara dengan pengacara. Bahkan, meskipun permintaan berulang kali atas hak tersebut telah dibuat oleh orang yang ditangkap dan permintaan berulang kali oleh pengacara di pusat-pusat penahanan.