REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesisir Utara Pulau Tidung Besar, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berkurang sekitar 20 meter. Oleh karenanya, masyarakat setempat berharap agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera menangani masalah tersebut.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Provinsi DKI Jakarta Darjamuni mengatakan, pihaknya berupaya melestarikan lingkungan yang ada di pulau seribu. Salah satunya langkah yang telah dilakukan adalah melalui Festival Bahari 2019.
"Dalam festival ini kami juga melalukan bersih sampah, penanaman mangrove, penanaman terumbu karang, dan juga melepas ikan," kata Darjamuni dalam sambutannya di penutupan acara Festival Bahari, Ahad (22/9).
Selain itu, Darjamuni juga menyatakan, Festival Bahari juga dimeriahkan dengan lomba festival fotografi bertema lingkungan. Ia menyatakan, hal itu ditujukan guna menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem Kepulauan Seribu, sekaligus mempromosikan pariwisata Kepulauan Seribu.
Kemudian, Darjamuni menjelaskan, pihaknya melalui UPT (Unit Pelayanan Teknis) juga melalukan konservasi terhadap ikan-ikan yang hampir punah. "Kami sudah menemukan katalogi ikan-ikan nemo, semuanya (konservasi) dilakukan di Pulau Tidung Kecil," kata dia.
Penjelasan Kadis KPKP tersebut merupakan salah satu implementasi dari Keputusat Gubernur DKI Jakarta nomor 1107 tahun 2019 tentang Daftar Kegiatan Strategis Daerah, didalamnya tertulis bahwa Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang akan dijadikan sebagai pusat konservasi ekologi.
Sementara itu, salah satu warga Pulau Tidung Besar, Suganda (44 tahun) mendorong pemerintah untuk melakukan konservasi terhadap lingkungan di pulau Tidung Besar. Pasalnya, salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat Tidung Besar adalah soal abrasi.
Suganda melanjutkan, selaku penduduk yang sudah menempati pulau tersebut selama puluhan tahun, ia menuturkan, laju abrasi yang ada di pulau tersebut berbeda antara sisi selatan dan sisi utara.
Selama 30 tahun terakhir, kalau yang utara berkurang 20 meter-an. Kalau yang selatan sekitar 10 meter-an. Saya ingat dulu soalnya di sisi Utara SMK (SMKN 61 Jakarta) ada lapangan bola. Tapi sekarang udah tinggal beberapa meter doang sama bibir pantai," kata Suganda saat ditemui Republika.co.id di Pulau Tidung Besar.
Selain Abrasi, pria yang telah tinggal di Pulau Tidung sejak masuk Sekolah Dasar itu mengaku, ekosistem di Pulau Tidung telah banyak berubah. Salah satu perubahan yang amat dirasakan oleh masyarakat setempat adalah soal jumlah ikan.
"Kalau soal ikan, satu banding 10 lah kasarnya. Kalau dulu sehari bisa dapat 10 kilo. Sekarang cuma dapat satu kilo. Dulu itu, kalau pas surut airnya, kita nggak usah pakai alat apa-apa, tinggal nagkap ikan gitu aja pasti dapat. Kalau sekarang mah nggak mungkin," ucap dia.
Menurutnya, menurunnya jumlah ikan yang ada di wilayah tersebut dapat dilihat dari menurunnya jumlah nelayan. Bahkan, ia menceritakan saat ia pertama kali tinggal di Pulau Tidung Besar, rata-rata masyarakat di pulau tersebut enggan untuk bekerja sebagai ASN, pasalnya hasil tangkapan ikan nelayan jauh lebih menguntungkan.
"Kalau dulu mayoritas penduduk sini kerja sebagai nelayan, bisa dibayangkan kalau per kilonya hasil tangkapan ikan laki sekitar Rp 20 ribu-Rp 30 ribu. Tapi sekarang, sebagaian masyarakat sudah jadi pegawai (ASN), sebagian lagi berdagang," kata Suganda.
Lalu, penurunan kualitas ekosistem Pulau Tidung lainnya adalah soal penurunan kualitas air laut. Suganda menceritakan, selain sebagai nelayan, masyarakat Pulau Tidung pada mulanya juga merupakan petani rumput laut. "Ya kalau sekarang masyarakat sini sih bilangnya air lautnya udah panas, jadi rumput laut tumbuhnya nggak bagus lagi," kata dia.